Sunday, December 02, 2012

"Hidup pasti sangat murah di sana!": Multatuli tentang Pulau Rote

Tahukah anda bahwa Eduard Douwes Dekker alias Multatuli pernah menulis tentang Rote dalam novelnya Max Havelaar? 


Dalam novel abad 19 yang berpengaruh tentang Hindia Belanda itu, sebuah bagian yang mencurigakan muncul. Seorang tokoh dalam novel itu, Batavus Drystubble, seorang broker kopi dari Amsterdam, mendapat sebundel koleksi aneh manuscript dari seorang bernama Scraftman (lihat Max Havelaar, Bab IV ). Scraftman menggambarkan dirinya sebagai seorang pujangga dan penulis yang telah banyak berpikir, bekerja dan melihat.

Walaupun Drystubble yang aslinya seorang bisnisman dan pedagang kopi tidak tertarik dengan pemberian ini namun ia mau juga menelusuri halaman-halaman koleksi ini. Seperti disertasi dari sebuah universitas modern, koleksi itu memuat essay dari berbagai topik: Asal-usul aristokrasi, asal usul negara Russia, tentang mithologi Icelandia, tentang penemuan baju zirah, tentang arsitektur orang Moor, tentang wayang China, tentang theori populasi Malthus dalam hubungannya dengan subsistensi dst. Si Drystubble selalu memberi komentar atas list ini, antara lain misalnya dia menulis: "sudah kubilang kan bahwa daftar ini aneh".

Di antara daftar panjang itu ada satu entri yang menarik perhatian Drystubble: "tentang orang-orang yang tidak makan di pulau Rote dekat Timor." Bagi mereka yang tahu tentang Rote, judul ini tentu mengacu kepada kenyataan bahwa orang Rote meminum kebanyakan dari makanan mereka daripada memakannya. Pagi-pagi anak gembala misalnya, bawa gula aer untuk sarapan siangnya, minum tuak waktu pagi dan sore, minum susu kerbau atau kambing, makan lawar dengan minum gula, minum laru obat, atau kebiasan rebus-rebus ala pesta orang Rote.

Namun Drystubble menerjemahkannya secara berbeda. Menurutnya, orang-orang Rote adalah orang-orang yang bisa menghindari kemahalan dan masalah makan. Dengan coretan pensilnya dia menambahkan ke daftar itu: "Hidup pasti murah di sini."

Antropolog terkenal James J. Fox kemudian mengangkat thema ini sebagai pembukaan dari bukunya yang terkenal "Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia." (Harvard, 1977). Fox menyebut bukunya itu sebagai semacam pengganti dari imaginasi Scrafman tentang manuscript-manuscript itu.
Kalau Scrafman cuma bisa berimajinasi, Fox datang sendiri ke Rote bersama istrinya dan tinggal di Rote tahun 1965-1966, tepatnya di rumah Mias Kiuk di Ufa Len, Termanu selama beberapa tahun. Fox diangkat anak oleh daelangak Stephanus Adulanu, dan Raja Ernst Amalo menyebutnya sebagai anak dari saudara perempuannya. Jadi Fox menganggap Raja Ernst-- yang kemudian menjadi Camat Rote Tengah-- sebagai to'o nya. (Fox, 1989).

Stephanus Adulanu, yang biasa dipanggil Meno Tua, karena dia adalah daelangak dari klan Meno, meninggal 30 Maret 1970, dan Fox kembali ke Rote pada bulan September 1972. Setelah disetujui oleh 'saudara tua'nya Ayub Adulanu, atas usulan Fox didirikanlah sebuah tutus untuk mengenang ayah angkatnya itu. Saat itu ritual pendirian tutus sudah ditinggalkan oleh orang Rote karena dianggap kafir oleh gereja tetapi Fox berhasil meyakinkan pihak keluarganya dan pihak keluarga  to'o huk-nya Ernst Amalo untuk mendirikan tutus  itu.

Ritual pendirian tutus adalah pendirian monumen yang terbuat dari kayu dengan landasan batu yang diperuntukkan untuk mengenang tokoh penting yang telah meninggal. Fox (1971) menjelaskan , bahwa:


"All Rotinese rituals of the life-cycle are explicitly phrased in a botanie idiom that draws multiple metaphoric analogies between human life and the growth of specific plants. Thus a single idiom encompasses both human and agricultural rituals."

Akhirnya setelah meliwati persiapan yang panjang, bahkan melalui perdebatan dalam sidang gereja, akhirnya tutus itu didirikan dan diberi nama Dale Sue (Hati Sayang) pada 30 Juni 1973. Pada Hari yang sama, saya dilahirkan di Metina, Baa, beberapa kilometer dari tempat tutus itu didirikan.

Kita kembali sejenak ke reaksi Fox soal imajinasi Scrafman bahwa "orang Rote yang meminum makanannya".  Bagi Fox, kenyataan bahwa orang-orang di pulau di sudut bagian timur Indonesia itu kebanyakan meminum makanannya daripada memakannya adalah fakta sosial yang tidak biasa dan menarik. Tetapi bahkan jauh lebih menarik lagi bahwa orang Rote -- dan tetangga mereka orang Sabu, harus memperoleh keunggulan ekonomi mereka dari kondisi subsisten yang tidak biasa. (Fox, 1977: 3).


Sebagai orang Rote, kita mungkin tidak melihat keunggulan ekonomi (dalam bahasa Fox "economic advantage") yang telah dicapai orang Rote itu karena kita lahir dan besar di pulau itu, lahir dengan gula aer, gula nira, makan rumput laut, makan ikan panah langsing di laut, minum laru, makan pagi kering dan padi basah, piara sapi, kambing dan domba, punya sawah dan mamar.

Tapi bagi bagi orang yang mempunyai sedikit pengetahuan yang luas tentang sejarah sosial orang Rote - dan Sabu, akan cukup terpesona bagaimana orang-orang dari dua pulau kecil dan kering itu bukan hanya survive tetapi mampu membawa diri mereka sebagai pemain utama sejarah sosial di Timor dan sekitarnya. Kalau sekarang banyak yang melihat penurunan dalam partisipasi dan peran orang Rote, itu lain cerita. Tapi kalau mau lihat sejarah secara utuh, bagi saya sungguh luar biasa peran orang Rote dan ini saya sadar bukan sekedar romantisme untuk memuji-muji orang Rote!.

Bibliography

Fox, James, Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia." Harvard, 1977.
Fox, James, "The Aroma of the Name, The Celebration of A Rotinese Ritual of Rock and Tree", dalam Rituals and Socio-Cosmic Order in Eastern Indonesian Societies; Part I Nusa Tenggara Timur 145 (1989), no: 4, KITLV Leiden, hal. 520-522.
Fox, James, 'Sister's child as plant: Metaphors in an idiom of consanguinity', in: R. Needham (ed.), Rethinking kinship and marriage, pp.219-52. London, 1971: Tavistock.
Multatuli [Eduard Douwes Dekker], Max Havelaar, Rotterdam: Elsevier, 1881.


No comments: