Monday, December 31, 2012

Ia tak berat, ia saudaraku

"He ain't heavy, he's my brother."
Apa yang pikirkan ketika anda selesai membaca kalimat di atas? Kalimat di atas adalah judul sebuah lagu, dan banyak orang setelah membaca judul itu atau mendengarkan lagu tersebut, biasanya menginterpretasi secara berbeda.

Para bocah mengusung peti jenazah teman mereka Delvis Vasquez dalam pemakaman 10 anggota keluarga Vasquez yang meninggal ketika sebuah gempa bumi berkekuatan 7.4 skala richter menimpa San Cristobal Cucho, Guatemala pada Jumat, 9 November 2012. Gempa yang berlansung dua hari sebelumnya itu menewaskan 52 orang dan ratusan orang masih dinyatakan hilang. (AP/Moises Castillo)
Ada yang menghubungkan lagu ini dengan seseorang yang mengangkat peti jenazah saudaranya. Ada yang mengatakan lagu terinspirasi dari kata-kata seorang prajurit yang menggendong temannya yang mati di punggungnya dan ketika Santo Petrus bertanya: “tidakkah lelaki di punggungmu itu berat?”, ia menjawab: “Ia tidak berat, Ia saudaraku”. Ada juga yang menghubungkan lagu ini dengan “saudara” dalam pengertian metaforikal di mana kita menolong seseorang bukan karena kewajiban tetapi karena rasa cinta kita kepada orang itu. Ada pula yang menghubungkan dengan dukungan terhadap seorang teman di masa-masa sulit. Anda bisa membuktikan ke mana arah interpretasi orang sehubungan dengan lagu itu, cukup dengan mengetik judul lagu ini di mesin pencari Google dan buktikan gambar apa yang anda temukan. Hampir semua behubungan dengan pengasuhan anak oleh saudaranya, brotherhood dalam situasi perang, brotherhood dalam situasi normal atau memanggul peti jenazah.
Hits album The Hollies

"He Ain't Heavy... He's My Brother" adalah sebuah lagu ballad yang ditulis  Bobby Scott dan Bob Russell. Awalnya direkam oleh Kelly Gordon di tahun 1969, namun setahun kemudian lagu ini menjadi worldwide hit bagi kelompok The Hollies, dan kemudian menjadi hits lagi setelah dinyanyikan oleh Neil Diamond in 1970. Scott dan Russell diperkenalkan satu sama lain oleh Johnny Mercer, di sebuah nightclub di California. Walaupun Russell sedang menderita kanker lympa and bahwa keduanya hanya bertemu tiga kali, mereka bisa bekerjasama untuk menyelesaikan penulisan lagu ini.

Ada beberapa event yang sering dihubungan dengan judul lagu ini. Pertama, sebuah terbitan di tahun 1918 oleh Ralph Waldo Trine yang berjudul "The Higher Powers of Mind and Spirit" dimana ia menghubungkan anekdot-anekdot berikut ini: "Do you know that incident in connection with the little Scottish girl? She was trudging along, carrying as best she could a boy younger, but it seemed almost as big as she herself, when one remarked to her how heavy he must be for her to carry, when instantly came the reply: 'He's na heavy. He's mi brither.'"

Peristiwa lain adalah judul sebuah kolom. Editor Kiwanis magazine, Roe Fulkerson, menerbitkan sebuah kolom di bulan September 1924 dengan judul "He Ain't Heavy, He's My Brother"; yang merupakan variasi dari kata-kata yang telah muncul dalam sebuah buku sekitar tahun 1884. Dalam halaman 163 dari buku berjudul The Parablesof Jesus, James Wells menulis  “No: he’s not heavy; he’s my brother.”
Father Edward J. Flanagan

Namun yang paling punya cerita adalah hubungan antara frasa ini dengan pastor katholik Father Edward J.Flanagan, yang mendirikan Boys Town, sebuah komunitas untuk anak-anak terlantar di Omaha, Nebraska pada tahun 1917. Flanagan menemukan gambar seorang anak yang menggendong suadaranya pada majalah Louis Allis Messenger edisi Natal 1941 dengan keterangan gambar: "He ain't heavy Mr., he's my brother!" Gambar itu dibuat oleh Mr. Van B. Hooper  yang kemudian menjadi editor Ideals. Gambar itu dicetak lagi pada edisi perdana Ideals di bulan Desember 1944.

Flanagan berpikir bahwa gambar itu menggambarkan semangat dari apa yang dilakukan di Boys Town kemudian ia mendapatkan izin di bulan August 1943 untuk mereproduksi gambar itu dalam bentuk berwarna dengan caption: "He ain't heavy, Father . . . he's m' brother."   Flanagan untuk mendapat izin untuk membuat patung dari gambar itu. Patung dan frasa itu kemudian menjadi logi dan motto Boys Town.
Kehidupan Father Flanagan difilmkan pada tahun 1938 dengan judul Boys Town dan Spencer Tracy yang memerankan Flanagan memenangkan Academy Award untuk kategori Aktor Terbaik.

Media massa US juga pernah menghubungkan frasa ini dengan veteran perang Vietnam. Konon, sang prajurit dan kompinya memasuki sebuah desa yang baru saja dibombardir. Seorang anak kecil sedang menggendong jenazah seorang anak yang lebih kecil menjauh dari desa yang sedang terbakar. Seorang prajurit bertanya kenapa anak itu apakah jenazah itu tidak berat. Anak itu menjawab: "Ia tidak berat, ia adalah saudaraku.”
Mengapa lagu ini menimbulkan banyak interpretasi? Bahkan judulnya saja akan menimbulkan beragam tafsiran. Walaupun tafsiran-tafsiran itu sah saja, pertanyaannya adalah mengapa?

Frasa itu sebenarnya adalah sebuah figure of speech yang disebut paraprosdokian. Dalam figure of speech ini bagian kedua dari statement adalah sebuah kejutan yang  tak terduga sehingga membuat pendengar untuk menafsirkan kembali bagian pertama dari statement itu. Tehnik ini biasanya digunakan dalam effect dramatisasi atau efek lelucon, kejutan yang membuat orang tertawa karena tak mengira maknanya akan begitu. Karena itulah, tehnik ini sangat populer di kalangan para komedian atau satirist. Kalau ada sering mendengar mob Papua yang selalu membuat kejutan di akhir cerita, akan akan mengerti maksudnya.

Dalam konteks frasa di atas, jelas bagian kedua tak diharapkan. Kita berpikir bahwa jika bagian pertama berbunyi “Ia tidak berat” maka bagian kedua akan dengan sendirinya berbunyi “ia ringan” atau “ia sedikit berat” atau “berat sekali”. Namun yang muncul adalah “ia (adalah) saudaraku”. Dalam konteks lelucon orang juga akan tertawa mendengar bagian kedua yang tak terduga. Tapi sayang ini bukan lelucon, ini cerita universal yang membuat semua orang berpikir. Entah tentang kesusahan dia yang menggendong, entah tentang derita dia yang digendong. Lagu ini membuat saya teringat sebuah peristiwa di tahun 2009 di mana seorang ayah di Kupang yang berjalan 10 kilometer menggendong jenazah anaknya karena tak punya uang. Peristiwa serupa juga pernah terjad di Bogor.

Kebanyakan orang  akan menempatkan diri mereka pada situasi itu atau setidaknya mencoba mengerti situasi itu. Imajinasi kita akan beranjak ke banyak hal yang bisa berhubungan dengan seorang yang mengendong saudaranya. Entah mengendongnya dalam keadaan mati atau hidup, entah menggendongnya karena cacat, sakit atau lapar. Entah menggendongnya karena lelah berjalan dan tak ada tumpangan bagi mereka, entah sedang kelaparan atau kedinginan. Entah menggedong peti jenazah orang yang dikasihi, entah menggendong dalam pengertian metaforikal. Itulah kekuatan dari paraprosdokian ini. 

Kembali ke cerita lagu di atas. Selain versi yang dinyanyikan The Hollies dan Neil Diamond, beberapa minggu lalu sekelompok musisi dan celebriti yang tergabung dalam The Justice Collective merekam sebuah versi lagu ini untuk beragam charity group yang berkaitan dengan Hillsborough disaster, sebuah bencana sepakbola di tahun 1989 yang kemudian merubah wajah manajemen keamanan dalam sepakbola Inggris selamanya. Para celebriti itu antara lain Robbie Williams, Paul McCartney, Paul Heaton dan mantan pelatih Liverpool Kenny Dalglish. Sampai notes ini saya tuliskan, lagu ini yang direlease 17 Desember 2012 ini masih menempati puncak tangga lagu di UK. Dalam pengertian tertentu, bagian terkahir dari tulisan ini adalah sebuah "paraprosdokian". Anda mengira saya bicara tentang sebuah lagu lama yang tak relevan lagi, namun sebenarnya lagu ini tetap relevan.

Selamat Natal dan Tahun baru, selamat menikmati versi Robbie William cs di bawah ini. Perhatikan bahwa di akhir video ini ada nama-nama mereka yang menjadi korban pada Hillsborough disaster. Masih ingatkah kita akan nama dua orang yang meninggal di Gelora Bung Karno pada saat SEA Games November 2011? Mungkin kita terbiasa melupakan sejarah, dan karena itu kita sering dihukum untuk mengulanginya:  



The road is long
With many a winding turn
That leads us to who knows where
Who knows when
But I'm strong
Strong enough to carry him
He ain't heavy, he's my brother

So on we go
His welfare is of my concern
No burden is he to bear
We'll get there
For I know
He would not encumber me
He ain't heavy, he's my brother

If I'm laden at all
I'm laden with sadness
That everyone's heart
Isn't filled with the gladness
Of love for one another

It's a long, long road
From which there is no return
While we're on the way to there
Why not share
And the load
Doesn't weigh me down at all
He ain't heavy, he's my brother

He's my brother
He ain't heavy, he's my brother..

Thursday, December 27, 2012

“Turun di Ikaf ko?”

Aktifitas dalam sebuah pabrik daging kalengan di Kupang sekitar tahun 1950-an. (Sumber: Tanah Air Kita: a Pictorial Introduction to Indonesia.)

Pernahkah anda mendengar orang menyebut nama sebuah tempat di Kota Kupang dengan “Ikaf”? Memang sekarang sudah sangat jarang orang menyebut tempat itu dengan nama Ikaf. Di mana sebenarnya tempat itu dan mengapa dinamai demikian? 

Tempat itu sebenarnya hanya berjarak beberapa meter dari perempatan dekat kantor Polda NTT yang sering disebut sebagai perempatan Komdak menunjuk kepada nama lama dari institusi kepolisian “Komando Militer Daerah Kepolisian”. Beberapa meter dari arah Komdak ke arah Airnona anda akan melihat sebuah rumah mewah yang berdiri di antara Kantor Penggadaian dan sebuah lapangan volleyball. Di tempat di mana rumah mewah dan lapangan volloeyball berdiri itulah pernah berdiri sebuah pabrik yang disebut ICAFF singkatan dari Indonesia Canning and Freezing Factory.  

Itulah sebabnya setiap penumpang angkot yang hendak turun di pertigaan ke arah SMP/SMA (Sekarang SMP Lentera) biasa mengatakan kepada sopir angkot: “turun di Ikaf e”. Permintaan ini biasanya dilakukan oleh orang-orang tua yang pernah mengetahui akan parbrik itu. Seingat saya, gedung tua dari pabrik itu masih berdiri sekitar tahun 1980-an semasa saya di bangku SMP. Waktu itu, gedungnya sudah sangat tidak terawat. Seingat saya, dinding-dinding bagian luarnya ditempeli dengan seng. Pernah juga dipakai sebagai gedung sebuah sekolah swasta, namun kemudian dirobohkan.  

Menurut penulis Peter Apollonius Rohi, Icaff itu kebanggaan orang Kupang tahun 1950-an. Pemegang sahamnya kebanyakan pedagang besar di Kupang dan raja-raja serta para pemimpin pergerakan. Gedung pabrik itu didirikan di atas tanah raja Kupang, Don Alfonsus Nisnoni.  

"Ini memang cita-cita para pemimpin pergerakan. Makanya sebagian pemegang saham adalah para anggota koperasi Timor Verbond yug berfusi dengan Partai Indonesia Raya (Parindra) di Surabaya," kata anggota marinir yang memutuskan untuk menjadi wartawan ini. 

"Partai ini diketuai langsung oleh Dr Soetomo. Para pedagang yang bergabung dalam Icaff antara lain Lie Tie Pau, eksportir ternak terbesar di Kupang, Umar Bakhtiar, para raja-raja dan pegawai kerajaan, serta para pemimpin pergerakan. Papa saya dulu menyimpan buku yang berisi daftar nama-nama para pemegang saham Icaff".

Menurut Peter di sekitar tempat berdirinya pabrik tersebut tinggal beberapa keluarga antara lain keluarga Neppa, keluarga Bano, dan keluarga Rona. Di belakang pabrik itu tinggal adik Peter, tepatnya di sebelah barat rumah "pak Daulima, Direktur SGB". Di dekat pabrik itu juga tinggal pak Dillak, direktur SMP Kristen. Di sebelah rumah keluarga Dillak adalah rumah Ang Hoo Lang, seorang China yang menurut Peter sangat berjasa dalam sejarah pergerakan nasional. Dari beberapa keluarga ini, setahu saya yang masih berdiri di tempatnya adalah rumah keluarga Dillak.

Leopold Nisnoni menegaskan hubungan antara keluarga Nisnoni dengan perusahaan ini dalam wawancaranya dengan Steve Farram pada 17-19 Novemver 2002 (From 'Timor Koepang' to 'Timor NTT': A Political History of West Timor 1901-1967). Farram menulis:
"Leopold Nisnoni, the son of Raja Kupang, managed two major enterprises in Kupang, a printery and a canning factory, and later went into business." (341-42). 
Namun harus ditelusuri lebih jauh kepastian kepemilikan saham dalam perusahaan tersebut mempertimbangkan informasi yang diberikan Peter Rohi bahwa kepemilikan perusahaan itu mempunyai hubungan dengan agenda politik pada waktu itu dan bahwa kepemilikannya bukan oleh pihak keluarga Nisnoni semata.

Menurut I.H. Doko dalam bukunya Timor, Pulau Gunung Fatuleu (Balai Pustaka, 1982, hal. 44-45), pabrik pengolahan daging dalam kaleng ini didirikan tahun 1952. Pada waktu berproduksi perusahaan ini membutuhkan 16-20 ekor sapi sehari. Kesulitan transportasi dan harga tin plate (bahan baku untuk kaleng) yang tinggi membuat pabrik ini berhenti berproduksi. Tahun 1963 sudah tidak berproduksi lagi. 

Sebagian besar notes ini telah saya tulis sebagai draft sekitar tahun 2006 namun beberapa hari lalu seorang teman saya berkunjung ke rumah sebuah keluarga Belanda. Di sana ia diberikan sebuah buku fotografi tentang Indonesia berjudul “Tanah Air Kita: A pictorial introduction to Indonesia." Teman saya ini memilih buku ini untuk saya karena dia tahu saya sangat berminat tentang sejarah Timor. Buku yang tidak mencantumkan nama penulis dan tahun penerbitan itu diterbitkan oleh penerbit W. Van Hoeve N.V. The Hegue dan Bandung.  Pada halaman 196 terdapat sebuah foto dengan caption: Picture of a meat canning factory at Kupang, also called Timor Kupang. Sudah sejak lama saya ingin mengoleksi foto-foto bersejarah kota Kupang dan rupanya saya telah menemukan salah satu diantaranya. Selamat menikmati.

Leiden, 27 Desember 2012.

Tuesday, December 25, 2012

Teringat seorang ayah dari Nazareth


Lonceng-lonceng gereja bergenta bersahutan
Angin bergemericik di atas sungai
Badai menyeruak di atas langit pekat
Pucuk-pucuk cemara bergemuruh menakutkan
Sepeda perlahan dikayuh

Malam berhias lampu temaram
Aku berdiri di atas jembatan tua ini
Memandang dunia sejauh pandang
Menguatkan hati sebisa raga
Teringat orang-orang terkasih

Lebih  baik engkau daripada saya, Yusuf
Tak ada yang tahu beratnya pilihan yang kau ambil
Tak ada yang bisa menimang beban yang kau pikul
Kau pikul sendiri ke hadapan Dia yang kau pilih
Di malam-malam pengungsianmu

Lonceng gereja terus bergenta bersahutan
Angin masih menakutkan
Para penjaga bar tersenyum menyambut para pelanggan
Gerbang-gerbang gereja masih tertutup
Aku tak layak untukmu, bayi Natal.

Leiden, malam, 24 Desember 2012

Monday, December 24, 2012

Yusuf, lebih baik kamu daripada saya

Flight into Egypt by Rembrandt
Yusuf namanya, seorang tukang kayu. Bukan Yusuf sang Perdana Mentri Firaun. Bukan Yusuf si tukang mimpi dengan gagasan-gagasan besar. Yusuf ini adalah Yusuf yang sederhana, seorang tukang kayu. Ia juga punya mimpi, namun mimpinya bukan miliknya, melainkan mimpi yang diberikan Allah kepadanya. Ia harus menanggung mimpi itu. Di bahu lelaki sederhana inilah Allah menaruh sebuah tugas yang berat, sangat berat. Tidak seperti Yusuf anak Yakub yang mimpinya berakhir dalam keagungan dan kebesaran. Tidak. Mimpinya adalah menanggung beban dari Allah.

Dia harus memikul beban, beban yang tidak ringan mengingat semangat zamannya. Ia diminta mengakui anak dalam kandungan Maria, kekasihnya sebagai anaknya. Padahal ia belum menghampiri perempuan itu. Hukuman untuk pezinah pada waktu itu sangat berat: dirajam sampai mati.  Bahkan pada zaman di mana hamil di luar nikah bukan hal yang luar biasa inipun, laki-laki siapa yang mau menanggung anak yang bukan anaknya?

Akankah ia lari dari beban yang bahkan bukan tanggungjawabnya itu? Akan dia malu menanggung apa yang dianggap aib itu? Akankah dia tak ingin merusak nama baiknya sehingga meninggalkan Maria? Akankah dia bersembunyi? Kita semua tahu jawabannya melalui Alkitab. 

Pertanyaan yang sama ditujukan kepada kita. Akankah kita melakukan hal yang sama seperti Yusuf jika kita ada dalam posisinya? Akan kita mengambil resiko dan berpihak pada bayi kecil dalam kandungan itu? Bayi kecil yang bahkan belum kita lihat wajahnya?

Inilah sebuah thema dari lagu natal ‘Joseph, Better You than Me’ yang dinyanyikan oleh kelompok The Killers bersama Elton John dan Neil Tennant.
The Killers

Bayangkan apa yang didapatkan Yusuf. Tak ada satu janjipun, imbalanpun dari malaikat. Tidak ada janji kalau kamu melakukan ini, kamu akan mendapatkan itu dst. Namun Yusuf melakukan seperti apa yang diperintahkan malaikat, mengambil Maria sebagai istrinya (Matius 1: 24-25). Ia tidak melarikan diri, seperti Yunus atau Yakub dan Ia pun tak menolak atau berdalih seperti Yesaya atau Yeremia. Yusuf sesungguhnya adalah seorang pencipta, bukan sekedar ayah dari seorang anak.

Seperti bunyi syair lagu ini, “dari tembok-tembok Kuil ke malam-malam New York, keputusan-keputusan kita berakhir pada seorang bayi.” Bayi natal itu. Dalam setiap langkah hidup kita, dari tempat-temapt paling suci seperti gereja, Bait Allah, gedung-gedung kebaktian ke tempat-tempat yang paling dianggap paling najis, semua keputusan yang kita ambil berhubungan dengan bayi itu. Segala jenis keputusan dalam hidup kita menentukan apakah kita berada di sisi bayi Yesus itu atau di sisi lain.  Dan itu jugalah keputusan-keputusan yang dibuat Yusuf sejak saat itu dan sepanjang hidupnya. Apakah lari ke Mesir menghindari Herodes yang kejam, kembali ke Nazaret, memutuskan untuk membaptiskan anak sulungnya, bahkan sampai menerima kenyataan anaknya mati di kayu salib. Itulah keputusan-keputusan yang diambil oleh Yusuf, untuk menerima, menolak atau melarikan diri.

Ya, Allah telah memilih orang yang tepat. Yusuf si tukang kayu. Yang membesarkan seorang anak yang akan menjadi pertentangan bagi banyak orang, tapi tidak bagi dirinya. Ia menerima bayi mungil itu apa adanya, menanggung apa yang seharusnya ia tanggung, bahkan malu sekalipun,walaupun harus menjadi pengungsi di negeri asing. Banyak dari kita tidak pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi pengungsi. Yusuf melakukan apa yang bisa ia lakukan untuk menjadi ayah dari seorang anak yang bukan darah dagingnya.

Mengapa pilihan Allah jatuh pada Yusuf bukan pada orang lain? Mengapa bukan seorang hebat dan ternama sehingga Yesus bisa dididik dengan baik? Mengapa bukan dalam istana seperti Musa? Mengapa bukan di rumah seorang kaya atau pembesar sehingga terjamin kesejahtraan dan masa depannya? Kadang kita tak pernah mengerti alasan Allah memilih seseorang dalam misinya. Segala sesuatu tidak terjadi tanpa alasan. Bahkan seorang pembunuh seperti Saulus sekalipun dipilih menjadi Rasul Allah, menjadi pembawa kabar keselamatan dari Allah. Kita tidak pernah tahu. Allahlah yang memilih, bukan kita yang memilih.

Pilihan Allah pada keluarga sederhana ini membuat kita memikirkan lagi ideal-ideal jaman modern dalam hal pendidikan anak-anak kita. Banyak kali kita berpikir bahwa agar supaya anak-anak kita mempunyai masa depan yang baik, mereka harus difasilitasi atau dijejali dengan kepenuhan material ini dan itu. Fasilitas ini dan itu. Tetapi bukankah banyak kasus membuktikan bahwa anak-anak yang hidup dalam serba keterbatasan justru tumbuh menjadi anak-anak yang mandiri dan hebat? Asalnya mereka diajarkan untuk menerima keterbatasan itu tanpa mengeluh. Bersyukur sekaligus berusaha. Sebaliknya, bukankah sejarah membuktikan bahwa mereka yang dibesarkan dalam serba kecukupan dan kemewahan justru menjadi manja dan hancur ketika berhadapan dengan hidup yang sebenarnya?

Pentingnya peran keluarga membuat Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1994 menetapkan tahun itu sebagai tahun Keluarga.
Mereka yang dididik dalam keterbatasan, telah belajar mendisiplinkan dirinya dan membatasi dirinya dengan apa adanya. Bersyukur dengan apa adanya dan belajar memanfaatkan apa yang ada pada dirinya. Bukankah itu yang diajarkan oleh Yesus? Bukankah prinsip kemandirian dan keswadayaan ini juga yang didengung-dengungkan para ideolog modern jaman sekarang? Sebaliknya mereka yang dididik dalam serba kemewahan akan cenderung menjadi tukang mengeluh, bahkan terhadap hal yang tidak seharusnya dikeluhkan. Mereka yang 'lahir dengan sendok perak di mulutnya' kadang tak tahu bagaimana menggunakan sendok itu. Dengan mengatakan ini saya tidak bermaksud memandang kekayaan dan kemiskinan secara hitam putih berhubungan dengan moralitas seseorang. Banyak juga orang kaya yang mendidik anaknya secara benar, dan banyak juga orang miskin yang mendidik anaknya secara salah. Yang ingin saya tekankan adalah bahwa kemudahan sering membuat orang lupa akan penderitaan hidup orang lain bahkan lupa akan dirinya sendiri.

Dalam kesulitan, selalu ada jalan bagi mereka yang optimis dan bersyukur. Dan Tuhan tidak pernah tidur, kata orang Jawa. Yesus tidak dibesarkan di istana, di rumah mewah dengan segala fasilitas mewah. Yesus bukan anak manja yang diberi segala kemewahan dan kemudahan. Dari keluarga sederhana itu ia sadar akan siapa dirinya, ia membantu ayahnya sebagai tukang kayu, sampai saatnya Ia harus keluar meneruskan pendidikanNya sebagai rabi dan memilih murid-muridNya.

Joseph, the Carpenter by Georges de La Tour
Pilihan Allah pada keluarga sederhana ini juga membuka mata kita bahwa peletakan dasar pendidikan moral dalam keluarga tidak membutuhkan orang tua dengan pendidikan formal yang tinggi. Setiap manusia punya hati dan punya kasih sayang untuk membenarkan anaknya secara benar. Banyak generasi memberontak karena pendidikan keluarga yang salah. Dan banyak pemberontakan itu datang dari keluarga menengah ke atas, bukan dari keluarga yang sangat sederhana. Banyak generasi hancur karena dasar pendidikan moral dalam rumah tangga yang amburadul. Jika ingin melihat bagaimana pendidikan dalam keluarga lihat saja bagaimana sikap seorang anak. Jadi sangatlah munafik jika saat muncul sebuah kasus hukum atau moral yang memalukan lalu ada orang tua atau kerabat yang berkata: "Ah, anak saya tidak begitu kok. Dia anak baik, itu hanya karena pengaruh teman-temannya saja." Atau "itu dia dijebak saja, dia tidak seperti itu." Pendidikan keluarga adalah dasar bagi pembangunan masyarakat secara lebih luas. Kegelisahan dan pemberontakkan setiap generasi selalu punya hubungan dengan pendidikan keluarga yang tidak beres.

Kita kembali kepada Yusuf si ayah dan si tukang kayu. Kehadiran Yesus dalam hidupnya sungguh merubah segalanya. Mungkin kita berkata “enak dong mendapat privilege menjadi ayah dari Yesus, dari Anak Allah.” Ya memang membanggakan, tapi kita tak pernah tahu bagaimana penerimaan Yusuf saat itu. Kita tak pernah tahu bagaimana pergumulan batin Yusuf. Privilege itu hanya terjadi dalam drama natal abad modern. Kan asyik jadi pemeran utama dalam drama Natal? Dalam kenyataan sebenarnya Yusuf dan Maria tidak berada di atas panggung yang ditontong banyak orang. Mereka tidak sedang ber-acting untuk mendapatkan pujian dan apresiasi. Mereka sedang menjalani hidup senyata-nyatanya. Hidup yang penuh peluh dan airmata. Peneritaan mereka tidak ada yang tahu. Mereka menaggungnya sendiri di hadapan Allah mereka.

Jika kita benar-benar menaruh diri kita dalam posisi Yusuf, belum tentu kita dengan gembira menerima tugas itu. Bukankah dalam banyak tugas dan kewajiban moral dari Allah yang lebih ringan saja, banyak dari antara kita yang tidak merasa nyaman? Bukankah banyak yang menolak? Bukankah banyak yang "melarikan diri"? baik dalam pengertian mental maupun dalam pengertian harfiah. Sebagai pribadi saya berharap bukan sayalah yang ditunjuk Allah untuk menanggung beban seperti yang ditanggung Yusuf. Beban yang membuat kita bukan duduk di singgasana kehormatan, di tempat terhormat, tapi yang membuat kita harus menanggung banyak derita. Dan itu ditanggungnya tanpa mengeluh. Jika kupikirkan lagi betapa besarnya tugas, aku merasa sungguh tak layak. Yusuf ternyata bukan orang kecil, seperti ukuran dunia. Dia sangat besar. Lebih besar dari siapapun. Seorang tukang kayu yang lebih besar dari diriku. Aku tak layak berada di posisinya. Allahlah yang memilih dan melayakkan dia. Aku hanya bisa berkata: “lebih baik kamu Yusuf, daripada saya” seperti yang dinyanyikan The Killers:



Well, your eyes just haven't been the same, Joseph
Are you bad at dealing with the fame, Joseph?
There's a pale moonshine above you
Do you see both sides? Do they shove you around?

Is the touchstone forcing you to hide, Joseph?
Are the rumors eating you alive, Joseph?
When the holy night is upon you
Will you do what's right, the position is yours

From the temple walls to the New York night
Our decisions rest on a child
When she took her stand did she hold your hand?
Will your faith stand still or run away, run away?

When they've driven you so far that you think you're gonna drop
Do you wish you were back there at the carpenter shop?
With the plane and the lathe, the work never drove you mad
You're a maker, a creator, not just somebody's dad

From the temple walls to the New York night
Our decisions rest on a man
When I take the stand will he hold my hand?
Will my faith stand still or run away, run away?

And the desert, it's a hell of a place to find heaven
Forty years lost in the wilderness looking for God
And you climb to the top of the mountain
Looking down on the city where you were born
All the years since you left gave you time to sit back and reflect

Better you than me, better you than me
Better you than me, yes
When the holy night is upon you
Better you, better you
Do you see both sides? Do they shove you around?

Better you than me, Joseph
Better than you than me, better you than me
Joseph, Joseph, Joseph, Joseph
Than me, better you than me
Better you, better you, better you than me

Well, your eyes just haven't been the same, Joseph

Wednesday, December 19, 2012

Cerita Lagu Ofa Langga

Setiap orang Rote pasti mengenal lagu Ofa langga. Tapi tentang apa sebenarnya lagu itu? Sekilas dilihat dari liriknya lagu itu seakan berkisah soal suka duka orang Rote dalam pelayaran melewati selat antara pulau Timor, pulau Semau dan Pulau Rote, yaitu selat Pukuafu, atau juga sering disebut Lolok oleh sebagian orang Rote. Bahkan ada yang menyebut selat berbahaya itu sebagai "kuburan orang Rote". Namun sebenarnya lagu itu punya konteks personal dan politis yang membuatnya menarik.

Konon lagu ini berkisah tentang dilema sepasang  muda-mudi Rote di masa pendudukan Jepang. Penulis populer masyarakat Rote, Paul A Haning, menyebut konteks penciptaan lagu ini sekitar tahun 1943, dimana banyak pemuda Rote, oleh Jepang dikirim secara paksa (forced migration) ke Kupang dan beberapa tempat lain untuk kepentingan romusha. Jarak Kupang dan Rote seorang mungkin bukanlah sebuah jarak bagi bagi orang dengan kemudahan transportasi yang nama, namun Kupang dan Rote di tahun 1940-an tentu berbeda, apalagi kepergian sang pemuda bukalah untuk wisata atau mengunjungi keluarga, melainkan untuk kerja paksa bagi kepetingan balatentara Jepang.

Menurut Paul A. Haning, sebuah kapal pengangkut menunggu di Pelabuhan Pantai Baru untuk mengangkut romongan romusha ke Kupang. Para romusha datang dari berbagai wilayah di Rote. Bisa anda tebak sendiri bagaimana kisah perpisahan antara sang pemuda dan tunangannya. Dalam rombongan romusha itu ada seorang pemuda lain yang pandai menyanyi dan mencipta lagu. Kisah sepasang muda-mudi ini kemudian dituliskan dalam lagu Ofa Langga Soba-soba atau sering disingkat Ofa Langga.

Sangat menarik jika bisa kita dapatkan dokumentasi (deskripsi dan statistik) pengangkutan romusha dari Rote ke Kupang pada masa pendudukan Jepang. Ini akan memberi sedikit gambaran yang lebih jelas soal konteks lagu ini.

Dari segi syair, ada sejumlah hal yang bisa diinterpretasi. Walaupun ada berbagai versi dengan perbedaan di sana sini, saya mengutip versi yang dituliskan oleh Paul A. Haning bersama Ena Hayer Pah.

Ofa langga adinda soba-soba                  Haluan perahu mencoba-coba
Ofa langga adinda soba-soba                  Haluan perahu mencoba-coba
Soba nita adinda tasi anin                        Mencoba akan laut dan angin
Soba nita adinda tasi anin                        Mencoba akan laut dan angin
Soba sayang kasian susi ana                   Mencoba sayang, kasihan susi ana
Lu reme adinda susi matan                      Airmata menetes dari mata susi
Se tanggon pinu rembe                            Siapa yang menanggung ingus dan airmata
bu bo'i susa hati                                       Bu sayang bersusah hati


Ref: Se nae dae ki, dae ki tua meko        Konon di negeri (sebelah) utara, sebelah utara tua meko
Se nae dae kona, kola de'a Pante Baru   Konon di negeri selatan, merangkai kata, Pantai Baru
Nae lena seri tadadi lena seri                   Ingin menyebrang tak bisa menyebrang
Nae nasafali tadadi nasafali.                    Ingin berbalik tak bisa berbalik



Kata adinda yang dipakai adalah kata bahasa Melayu adinda yang sangat mungkin menunjuk kepada sang gadis. Pemakaiannya di tengah kalimat jika diterjemahkan akan mengganggu pengertian syairnya, namun harus dipahami kata ini dipakai sebagai rhima dalam lagu ini.

Kata bu adalah sebutan untuk kakak laki-laki dalam bahasa Rote yang sangat mungkin adalah pengaruh dari kata bung dalam bahasa Melayu. Sedangkan kata susi adalah sebutan untuk kakak atau saudara perempuan dalam bahasa Rote yang sangat mungkin dipengaruhi oleh kata bahasa Belanda zusje artinya saudara perempuan.

Pulau Rote adalah pulau yang membujur timur barat sehingga dae ki menunjuk kepada pantai utara Rote yang biasanya banyak digunakan sebagai jalur pelayaran ke Kupang, juga di mana sepanjang pantai utara ini terdapat sejumlah pelabuhan seperti Oelua di nusak Dengka (sekarang Kecamatan Rote Barat Laut), pelabuhan Baa di Nusak Baa (sekarang masuk ke dalam Kecamatan Lobalain), pelabuhan Pantai Baru di Nusak Korbafo (sekarang termasuk dalam kecamatan Pantai Baru), dan pelabuhan Papela di Nusak Ronggou (sekarang bagian dari kecamatan Rote Timur).

Sebaliknya, dae kona menunjuk kepada wilayah dan pantai selatan pulau Rote. Nusak Thie yang berada di bagian selatan, dikenal dengan nama lain Rene Kona yang berarti sawah (di sebelah) selatan. Jadi si pencipta lagu kemungkinan berusaha mengungkapkan luasnya dampak atau jangkauan rekruitmen untuk romusha yang meliputi berbagai nusak/kerajaan di Rote. Sang penyair juga berusaha mengambarkan dilema sepasang muda-mudi ini dengan gambaran "maju tak maju, mundur tak mundur" bagaikan kapal yang terombang ambing. Dan dalam kenyataannya sang pemuda berangkat dalam kapal serupa. Kalimat "kola de'a, Pantai Baru" menunjukkan terjadinya sebuah pembicaraan yang maju dan mundur seakan tak kunjung selesai di (pelabuhan) Pantai Baru.

Makna dan perlambangan dimainkan dengan cantik di sini. Bukan hanya hati kedua insan yang terombang ambing, tetapi sang kapal pun akan terombang ambing menghadang angin dan gelombang. Sekarang ini, dengan ada moda transportasi modern seperti ferry, jarak Kupang dan Rote hanya ditempuh dalam waktu dua sampai empat jam. Bukan jarak yang luar biasa. Juga terpaaan gelombang relatif lebih ringan jika dibanding menggunakan perahu layar. Walaupun ferry pun pernah tenggelam di selat yang bernama Pukuafu itu. Apalagi dulu, dimana perlayaran Rote-Kupang dapat ditempuh lebih dari sehari, bahkan bisa berminggu jika berhadapan dengan angin dan gelombang. Pada saat itu Kupang dan Rote bukanlah jarak yang dekat. Itulah sebabnya dalam lagu yang lain dengan judul yang sama, Fridel Eduard Lango memasukan dalam syairnya: "Kota nai kota de, Lote nai Lote de" (Kupang adalah di Kupang dan Rote adalah di Rote).

Walaupun pencipta lagu ini tidak dikenal, Paul A Haning menyatakan bahwa bagian ini sedikit mengungkapkan identitas sang penyair. Haning (dalam bukunya Sasando, alat Musik Tradisional Masyarakat Rote Ndao, 2009) menyatakan bahwa penulis lagu ini adalah orang Thie dengan mengacu kepada pengunaan kata bo'i yang menurutnya di masa lalu hanya terdapat dalam dialek Thie, walaupun kita telah dipakai dalam beberapa dialek Rote yang lain.

Bo'i dalam dialek Thie adalah bentuk pendek dari kata bonggi yang berarti beranak atau kandung. Ungkapan ini biasa dipakai untuk mengungkapkan kedekatan hubungan atau afeksi dan penghormatan kepada seseorang, dalam pengertian persaudaraan. Jika seorang Rote menyebut anda sebagai mama bo'i atau papa bo'i, tidak dimaksudkan secara harfiah bahwa anda adalah ibu kandung/ibu yang mengandung atau ayah kandungnya, melainkan ia sedang mengungkapkan afeksi dan kedekatan hubungan personal dengan anda, seakan menyatakan bahwa kasih sayangnya kepada anda adalah sama dengan kasih sayangnya kepada ayah atau ibu kandungnya sendiri.

Memang di Rote bagian timur, antara lain di Landu dan Ringgou, kata bo'i juga eksis namun mempunyai arti yang lain yaitu payudara. Jadi kesimpulan tentang identitas pencipta lagu ini bisa mendekati kebenaran jika dilihat dari penggunaan kata ini.

Sebagai lagu rakyat, lagu ini punya beberapa versi yang berkembang di masyarakat. Ada sebuah versi mempunyai judul yang sama namun berbeda dalam irama dan syair yaitu versi penyair kenamaan Rote, Fridel Eduard Lango. Versi F.E. Lango adalah sebagai berikut:

Ofa langga soba-soba
Soba nita tasi anin
Soba sayang kasian
Lu leme susi matan

Nae lena seli tadadi lena seli
Nae nasafali tadadi nasafali
Adu kasian, adu kasian mama boi ee
Rote nai Rote dei
Kota nai Kota dei
Mama boi ee, Dandi daen tou daen
Sopa oen tou oen
Lamatuak ifa au

  (bersambung)

Rumah di Nemberala, Rote

Mau bikin rumah di Kupang atau di Rote, boleh juga seperti ini....pingin punya rumah seperti ini di tepi pantai..
Rote Island Images
This photo of Rote Island is courtesy of TripAdvisor

Rote Island Pictures
This photo of Rote Island is courtesy of TripAdvisor

Sunday, December 16, 2012

“Aku seorang penjual Alkitab”: Ryan Gosling dalam Gangster Squad


Minggu lalu, saya menemukan sebuah trailer “Gangster Squad” film baru yang diperankan Sean Penn (Mickey Cohen) yang baru akan diluncurkan tahun depan. Dalam film yang dasarkan pada buku dengan judul yang sama karya Paul Lieberman, Sersan Jerry Wooters (Ryan Gosling) mengucapkan satu kalimat yang menarik. Wooters berkata “I am a Bible salesman” ketika ditanya Grace Faraday (Emma Stone) tentang apa pekerjaannya.  Saya suka jawaban itu dan kalimat itu saya posting di status facebook saya. Ternyata statemen itu menarik perhatian beberapa teman.

Film yang diinspirasi oleh kisah nyata ini, adalah kisah dua orang detektif LAPD yang berusaha membebaskan LA dari gangster di tahun 1940an and 1950an. LA waktu itu dikuasai raja bandit Mickey Cohen yang menguasai semua penghasilan dunia kejahatan mulai dari drugs, senjata, dan prostitusi. Ia tidak hanya menguasai orang-orangnya tetapi para polisi dan politisi dibawah kontrolnya. Semua orang takut, kecuali agen LAPD dipimpin oleh sersan John O'Mara (Josh Brolin) dan Jerry Wooters (Ryan Gosling), yang bersatu untuk melawan Cohen.

Film ini direncanakan untuk diluncurkan pada 7 September 7, 2012, tetapi terjadi bebeapa penundaan dan karena terjadi Aurora shooting, oleh Warner Bros. Pictures peluncurannya dimundurkan ke 11 January 2013.


Penasaran dengan asal usul statement itu, saya menelusuri dunia maya. Akhirnya saya sampai kepada sebuah novel karya Clyde Edgerton berjudul “The Bible Salesman”. Novel yang diterbitkan tahun 2008 itu menceritakan tentang Henry Dampier, pemuda berusia 20 tahun yang bergumul dengan dilema moral dan pekerjaannya.

Diceritakan bahwa saat dia sedang berkeliling menjual Alkitab yang semula ia maksudkan untuk dibagikan secara gratis, Henry bertemu seorang penipu: Preston Clearwater. Kalau Henry adalah penipu bernuansa religius dengan menjual Alkitab, Clearwater adalah penipu yang sekuler. Clearwater mengaku bahwa ia adalah seorang agen FBI padahal ia adalah anggota sindikat pencuri mobil. Ia mengaku kepada Henry bahwa sebagai agen FBI ia sedang mencoba menyusup ke jaringan pencuri mobil dan membutuhkan seorang rekan. Henry bisa menjual Alkitabnya kapan saja ketika ia tidak sedang membantu Clearwater (and FBI) mencuri mobil sebagai bagian dari aksi penyusupan, kata Clearwater.


Dalam bab-bab yang berjudul “Genesis” dan “Exodus”, dan kemudian“Revelation”, Henry bergumul dengan kesimpulan-kesimpulan theologis sementara kejahatan Clearwater, yang tidak diketahui olehnya, makin menjadi-jadi. Alkitab dan hormone adalah dua kekuatan yang luar biasa namun Henry berhasil untuk tidak memperdayai keduanya. Sebagai seorang penganut Baptist yang teguh, ia tidak menyesal menipu dalam menjual Alkitab, namun ia berat menerima inkonsistensi dalam Injil. Misalnya: Kalau Allah itu berkuasa, mengapa ia perlu beristirahat pada hari ketujuh?

Sebaiknya Clearwater adalah seorang penggoda, yang percaya bahwa dunia tak lebih hanyalah sebuah tempat bagi terjadinya sesuatu. Bahkan sebelum Henry bertemu Marleen Green, seorang gadis yang kemudian mengambil keperjakaan Henry, Clearwater telah merasionalisasi seruan Alkitab yang mengutuk sex di luar perkawinan. Jika orang seperti Abraham “si orang baik” melakukannya tanpa ganjaran, mengapa saya tidak”, kata Henry kepada dirinya kemudian.

Alegory menjadi dewasa yang sangat longgar dari Henry, dari Taman Eden milik Marleen ke konfrontasinya dengan iblis, membuatnya berhenti dari kelas-kelas Sekolah Minggu (dalam tradisi gereja Baptis di Amerika selain kebaktian minggu, ada juga kelas-kelas untuk pendalaman Alkitab yang disebut Sunday Schools) ke ambiguitas moral Alkitab.“I’ve changed my ideas about a lot of things,” Henry berkata kepada sepupunya setelah janji untuk menjaga keperjakaannya luluh di hadapan Marleen Green. Sang sepupu menanyakan apa yang terjadi. “I started reading the Bible,” katanya. Ia baru benar-benar membaca Alkitab ketika diperhadapkan dengan pergumulan eksistensial. 


Bukankah hidup kita seringkali seperti Henry Dampier?

Kita menyangka kita telah berada di jalan yang benar, kita telah bekerja pada orang yang benar, kita telah membela orang yang benar, kita telah memegang ideologi yang benar, kita telah melakukan yang benar, tetapi sebenarnya kita bersandar pada tiang yang salah. Banyak kali tanpa kita sadari kita sebenarnya sedang membela para penjahat, dan penipu, dan pembunuh dan kita menyangka kita sedang melayani Tuhan lewat apa yang kita lakukan.

Seperti Henry kita menyangka kita sedang bekerja sebagai abdi negara, yang membolehkan kita untuk melanggarkan sejumlah prinsip moral dan etis, tetapi sesungguhnya kita sedang mengabdi pada para penipu yang memperalat kita untuk kepentingan mereka saja. Kita begitu naive untuk tidak mengetahui ke mana, dari mana dan untuk apa kerja yang kita lakukan.  Ada juga yang sadar namun tidak berdaya untuk melepaskan diri, atau sudah merasa nyaman dalam kejahatan sehingga dan berusaha merasionalisasi apa yang sedang dijalani.

Ketika kita tidak sadar akan apa yang kita lakukan kita akan berkata “kita hanyalah penjual Alkitab”, Cuma sebuah buku, sebuah barang yang sedang kita jual, seperti halnya barang-barang dan buku lainnya. Tetapi ketika kita diperhadapkan dengan dilema-dilema moral dan etis dalam pekerjaan kita maka kita, seperti Henry, akan bilang “saya mulai membaca Alkitab”. Bukan sebuah buku lagi yang sedang kita perjualbelikan namun sebuah kuasa yang sedang kita hadapi, kuasa yang menggoncang iman kita, yang mengganggu kesadaran dan nurani kita. Sebelumnya kita hanya “menjual Alkitab”, kini kita mulai “membaca Alkitab”.

Kembali ke film Gangster Squad, kita mengerti sekarang mengapa sersan Jerry Wooters (Ryan Gosling) mengaku kepada Grace Faraday (Emma Stone) bahwa ia adalah seorang penjual Alkitab. Para polisi sedang melakukan sesuatu yang mereka tahu salah: main hakim sendiri melawan para bandit, membantai para bandit tanpa jalur hukum. Sersan John O'Mara bahkan berkata: “We are not solved any case here, we are going to war!”. 

Mereka tahu tugas mereka sebagai polisi adalah melindungi tetapi karena para gangster sudah tak bisa diatasi lagi, mereka mengatasinya dengan cara mereka sendiri. Dan mereka sadar itu salah tapi mereka tak punya pilihan. Jerry Wooters saat hendak menembak seorang musuh yang terjatuh, sang musuh berkata: “kamu tak mungkin melakukan ini, kamu seorang polisi.” Wooters berkata: “tidak lagi,” lalu menembak orang itu.  Tulisan dalam trailer itu berbunyi: “To save the law, break it!”

Itulah para penjual Alkitab yang merasa tak ada hubungan antara apa yang mereka lakukan dan apa yang tertulis dalam Alkitab. Menjual Alkitab adalah satu hal, membaca dan menaati Alkitab adalah hal yang berbeda. 

Saturday, December 08, 2012

River of Dream




SAYA lupa kapan saya pertama kali mendengarkan lagu ini, yang jelas saya familiar dengan iramanya. Selain itu saya menyukai refreinnya: “in the middle of the night” terutama dengan backing vocal yang mendayu. Entah mengapa saya tidak menaruh perhatian kepada lagu ini sejak dulu. Mungkin karena ketika saya pertama kali mendengarkannya, bahasa Inggris saya baru sepatah dua kata sehingga saya tidak menyimak.  

Baru beberapa minggu lagu, saya menemukan lagu ini lagi, terima kasih kepada YouTube. Saya mendengarkannya sekali, dua kali dan berkali-kali. Saya mengerti sekarang arti syairnya dan mengerti setiap kata. Saya suka pausing-nya dan kesunyian sebelum Billy Joel melanjutkan: ... in the middle of the night". Saya suka athmosfir lagunya. Sedikit hitam dan misterius tetapi sekaligus kudus.

In the middle of the night
I go walking in my sleep
From the mountains of faith
To the river so deep
I must be lookin' for something
Something sacred i lost
But the river is wide
And it's too hard to cross
even though I know the river is wide
I walk down every evening and stand on the shore
I try to cross to the opposite side
So I can finally find what I've been looking for.

In the middle of the night
I go walking in my sleep
Through the valley of fear
To a river so deep
I've been searching for something
Taken out of my soul
Something I'd never lose
Something somebody stole

I don't know why I go walking at night
But now I'm tired and I don't want to walk anymore
I hope it doesn't take the rest of my life
Until I find what it is I've been looking for
(Three beat Pause)
In the middle of the night
I go walking in my sleep
Through the jungle of doubt
To the river so deep
I know I'm searching for something
Something so undefined
That it can only be seen
By the eyes of the blind
In the middle of the night
(break)

I’m not sure about a life after this
God knows I've never been a spiritual man
Baptized by the fire, I wade into the river
That is runnin' through the promised land
(Long Five beat Pause)

In the middle of the night
I go walking in my sleep
Through the desert of truth
To the river so deep
We all end in the ocean
We all start in the streams
We're all carried along
By the river of dreams
In the middle of the night




Hidup kadang merupakan satu mistery. Existensi kita adalah sebuah tanda tanya besar. Kenapa kita di sini? Apa tujuan hidup kita? Kita lahir, hidup dalam jangka waktu tertentu di alam raya ini, lalu kita mati. Lalu orang lain lagi lahir dan memulai lingkaran kehidupan yang sama, begitu seterusnya.

Banyak yang tak peduli, tetapi banyak yang juga yang bertanya mengapa kita di sini? Banyak yang mencari jawaban ke mana-mana tapi tak menemukan apa-apa. Ada yang merasa menemukan jawaban tetapi pada saat yang sama masih ragu. Ada yang menipu diri dan merasa telah menemukan semua jawaban.
Ya, bagaikan berbicara kepada diri kita sendiri dalam moment-moment yang menentukan dalam hidup kita, siapakah sebenarnya diri kita di dunia yang tak berakhir dan berkesudahan ini.

Kadang kita merasa ada yang hilang dari diri kita dan kita tidak tahu apakah yang hilang itu. Kita mulai mencari tapi tak tahu apa yang kita cari. Seperti kata Billy Joel, kita mencari dari gunung-gunung iman yang tinggi ke sungai yang begitu dalam dan gelap. Sesuatu yang sakral yang telah hilang dari diri kita. Tapi sungai itu terlalu luas dan arusnya terlalu keras untuk disebrangi.
Walau kita tahu sungai itu dalam dan deras, kita tetap ingin mencari juga. Setiap malam kita turun ke sungai, berdiri di pinggir sungai. Mencoba mencari jalan untuk menyebrang.

Kadang di tengah malam, kita berjalan dalam tidur kita. Meliwati lembah ketakutan, ke sungai yang sangat dalam itu. Kita terus mencari sesuatu yang diambil dari jiwa kita itu. Sesuatu yang tak pernah hilang sebelumnya namun sekarang telah dicuri orang. Kita tidak tahu mengapa kita selalu berjalan di tengah malam.

Kadang kita merasa sudah terlalu lelah untuk mencari dan tak mau berjalan lagi. Kita berharap agar pencarian kita itu tidak berlangsung sepanjang sisa hidup kita. Malam-malam panjang di mana  kita berjalan dalam tidur kita kiranya segera berakhir. Agar kita tidak selalu melewati rimba keraguan, menuju sungai yang begitu dalam. Terus mencari sesuatu, sesuatu yang tak bisa didefinisikan. Sesuatu yang hanya bisa dilihat oleh mata orang buta.

***

Walaupun beberapa kali Billy Joel mengatakan dirinya atheis, latar belakang Yahudinya membuat ia mampu menggunakan symbolisme Yahudi dan Alkitab dalam lagu-lagunya, termasuk lagu ini. Misalnya ketika ia bilang bahwa ia semakin tidak yakin dengan kehidupannya, lalu ia melanjutkan dengan mengatakan bahwa Tuhan tahu ia bukan orang yang spiritual, yang dibaptis oleh api, berjalan ke dalam sungai yang mengalir meliwati tanah perjanjian.

Namun saya lebih setuju bahwa apapun konteks terciptanya sebuah lagu, kadang lagu itu mempunyai arti yang berbeda bagi setiap orang yang punya pengalaman hidup yang berbeda. Interpretasi dari sebuah lagu harus dimulai dan diakhiri pada diri setiap pendengar.

Karena itu lebih baik kita tidak menghancurkan makna lagu ini dengan cepat-cepat memberi makna religius bagi lagu ini. Sebab walupun lagu ini kaya dengan symbolisme dan mystisism Yahudi, kehebatan lagu ini justru terletak pada terbukanya kemungkinan interpretasi kepada makna universal dari pergumulan batin manusia. Seluas sungai yang dalam dan gelap, demikianlah luasnya dan dalamnya percarian, ketakutan dan pergumulan kita. Banyak orang pernah merasakan malam-malam kelam tiada berkesudahan, malam-malam dimana mata tak bisa dipejamkan. Malam-malam penuh mimpi-mimpi yang kelam dan gelap. Malam-malam itu adalah malam semua orang. Kita semua berjalan meliwati gurun-gurun kebenaran, gunung-gunung iman namun sama-sama berakhir di samudra.

We all end in the ocean, we all start in the streams
We're all carried along, by the river of dreams. In the middle of the night

Terima kasih Joey untuk lagu yang begitu indah dan penuh pergumulan. 

Friday, December 07, 2012

Pacquiao-Marquez IV



It’s absolutely true that if Joe Cortez had called the fight off after the third knock down, nobody would have criticized him and the idea that we would have the subsequent fight between these two great fighters would be far-fetched. Probably we wouldn’t have had Paquiao-Marquez two, three, and now four. But life is funny and so many things that happened in sports could go either way at a given time.

Three bouts, 36 rounds, 108 minutes of fighting have left these two men very much still in dispute. And in a cord on just one matter. Another meeting in the ring was required to settle the tale of Pacquiao and Marquez. A fourth collision is the only solution that remain.

Sunday, December 02, 2012

"Hidup pasti sangat murah di sana!": Multatuli tentang Pulau Rote

Tahukah anda bahwa Eduard Douwes Dekker alias Multatuli pernah menulis tentang Rote dalam novelnya Max Havelaar? 


Dalam novel abad 19 yang berpengaruh tentang Hindia Belanda itu, sebuah bagian yang mencurigakan muncul. Seorang tokoh dalam novel itu, Batavus Drystubble, seorang broker kopi dari Amsterdam, mendapat sebundel koleksi aneh manuscript dari seorang bernama Scraftman (lihat Max Havelaar, Bab IV ). Scraftman menggambarkan dirinya sebagai seorang pujangga dan penulis yang telah banyak berpikir, bekerja dan melihat.

Walaupun Drystubble yang aslinya seorang bisnisman dan pedagang kopi tidak tertarik dengan pemberian ini namun ia mau juga menelusuri halaman-halaman koleksi ini. Seperti disertasi dari sebuah universitas modern, koleksi itu memuat essay dari berbagai topik: Asal-usul aristokrasi, asal usul negara Russia, tentang mithologi Icelandia, tentang penemuan baju zirah, tentang arsitektur orang Moor, tentang wayang China, tentang theori populasi Malthus dalam hubungannya dengan subsistensi dst. Si Drystubble selalu memberi komentar atas list ini, antara lain misalnya dia menulis: "sudah kubilang kan bahwa daftar ini aneh".

Di antara daftar panjang itu ada satu entri yang menarik perhatian Drystubble: "tentang orang-orang yang tidak makan di pulau Rote dekat Timor." Bagi mereka yang tahu tentang Rote, judul ini tentu mengacu kepada kenyataan bahwa orang Rote meminum kebanyakan dari makanan mereka daripada memakannya. Pagi-pagi anak gembala misalnya, bawa gula aer untuk sarapan siangnya, minum tuak waktu pagi dan sore, minum susu kerbau atau kambing, makan lawar dengan minum gula, minum laru obat, atau kebiasan rebus-rebus ala pesta orang Rote.

Namun Drystubble menerjemahkannya secara berbeda. Menurutnya, orang-orang Rote adalah orang-orang yang bisa menghindari kemahalan dan masalah makan. Dengan coretan pensilnya dia menambahkan ke daftar itu: "Hidup pasti murah di sini."

Antropolog terkenal James J. Fox kemudian mengangkat thema ini sebagai pembukaan dari bukunya yang terkenal "Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia." (Harvard, 1977). Fox menyebut bukunya itu sebagai semacam pengganti dari imaginasi Scrafman tentang manuscript-manuscript itu.
Kalau Scrafman cuma bisa berimajinasi, Fox datang sendiri ke Rote bersama istrinya dan tinggal di Rote tahun 1965-1966, tepatnya di rumah Mias Kiuk di Ufa Len, Termanu selama beberapa tahun. Fox diangkat anak oleh daelangak Stephanus Adulanu, dan Raja Ernst Amalo menyebutnya sebagai anak dari saudara perempuannya. Jadi Fox menganggap Raja Ernst-- yang kemudian menjadi Camat Rote Tengah-- sebagai to'o nya. (Fox, 1989).

Stephanus Adulanu, yang biasa dipanggil Meno Tua, karena dia adalah daelangak dari klan Meno, meninggal 30 Maret 1970, dan Fox kembali ke Rote pada bulan September 1972. Setelah disetujui oleh 'saudara tua'nya Ayub Adulanu, atas usulan Fox didirikanlah sebuah tutus untuk mengenang ayah angkatnya itu. Saat itu ritual pendirian tutus sudah ditinggalkan oleh orang Rote karena dianggap kafir oleh gereja tetapi Fox berhasil meyakinkan pihak keluarganya dan pihak keluarga  to'o huk-nya Ernst Amalo untuk mendirikan tutus  itu.

Ritual pendirian tutus adalah pendirian monumen yang terbuat dari kayu dengan landasan batu yang diperuntukkan untuk mengenang tokoh penting yang telah meninggal. Fox (1971) menjelaskan , bahwa:


"All Rotinese rituals of the life-cycle are explicitly phrased in a botanie idiom that draws multiple metaphoric analogies between human life and the growth of specific plants. Thus a single idiom encompasses both human and agricultural rituals."

Akhirnya setelah meliwati persiapan yang panjang, bahkan melalui perdebatan dalam sidang gereja, akhirnya tutus itu didirikan dan diberi nama Dale Sue (Hati Sayang) pada 30 Juni 1973. Pada Hari yang sama, saya dilahirkan di Metina, Baa, beberapa kilometer dari tempat tutus itu didirikan.

Kita kembali sejenak ke reaksi Fox soal imajinasi Scrafman bahwa "orang Rote yang meminum makanannya".  Bagi Fox, kenyataan bahwa orang-orang di pulau di sudut bagian timur Indonesia itu kebanyakan meminum makanannya daripada memakannya adalah fakta sosial yang tidak biasa dan menarik. Tetapi bahkan jauh lebih menarik lagi bahwa orang Rote -- dan tetangga mereka orang Sabu, harus memperoleh keunggulan ekonomi mereka dari kondisi subsisten yang tidak biasa. (Fox, 1977: 3).


Sebagai orang Rote, kita mungkin tidak melihat keunggulan ekonomi (dalam bahasa Fox "economic advantage") yang telah dicapai orang Rote itu karena kita lahir dan besar di pulau itu, lahir dengan gula aer, gula nira, makan rumput laut, makan ikan panah langsing di laut, minum laru, makan pagi kering dan padi basah, piara sapi, kambing dan domba, punya sawah dan mamar.

Tapi bagi bagi orang yang mempunyai sedikit pengetahuan yang luas tentang sejarah sosial orang Rote - dan Sabu, akan cukup terpesona bagaimana orang-orang dari dua pulau kecil dan kering itu bukan hanya survive tetapi mampu membawa diri mereka sebagai pemain utama sejarah sosial di Timor dan sekitarnya. Kalau sekarang banyak yang melihat penurunan dalam partisipasi dan peran orang Rote, itu lain cerita. Tapi kalau mau lihat sejarah secara utuh, bagi saya sungguh luar biasa peran orang Rote dan ini saya sadar bukan sekedar romantisme untuk memuji-muji orang Rote!.

Bibliography

Fox, James, Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia." Harvard, 1977.
Fox, James, "The Aroma of the Name, The Celebration of A Rotinese Ritual of Rock and Tree", dalam Rituals and Socio-Cosmic Order in Eastern Indonesian Societies; Part I Nusa Tenggara Timur 145 (1989), no: 4, KITLV Leiden, hal. 520-522.
Fox, James, 'Sister's child as plant: Metaphors in an idiom of consanguinity', in: R. Needham (ed.), Rethinking kinship and marriage, pp.219-52. London, 1971: Tavistock.
Multatuli [Eduard Douwes Dekker], Max Havelaar, Rotterdam: Elsevier, 1881.