Tuesday, January 02, 2007

Josh dan Teknologi Masa Depan


Kompas cetak, 2 Januari 2007

DAHONO FITRIANTO

Sungguh menyenangkan berbincang-bincang dengan Josaphat Tetuko Sri Sumantyo PhD (35). Orangnya ramah, terbuka, rendah hati, dan setiap kata darinya bagaikan kisah fiksi sains: menakjubkan dan sulit dipercaya.

Pertama dia bercerita tentang antena tembus pandang yang bisa ditempel di kaca jendela rumah, kantor, mobil, hingga pesawat. Kemudian tentang antena satelit setebal 1,6 milimeter. Terakhir, tentang pencarian abu vulkanik sisa letusan Gunung Toba di Sumatera 78.000 tahun silam di Kutub Utara.

Hanya saja, itu bukan fiksi. Semua nyata, terbukti secara ilmiah, dan merupakan karya pria yang akrab dipanggil Josh. Dia berhasil menciptakan antena tembus pandang yang dibuat dari bahan dasar pasta tembaga pada 2004.

Tempelkan antena berbentuk lembaran film itu di kaca jendela rumah, mobil, atau gedung perkantoran, dan kita bebas menerima siaran televisi, berkoneksi internet, mengaktifkan perangkat GPS, dan melakukan panggilan telepon satelit dari dan ke seluruh tempat di dunia ini.

Karya Josh lainnya adalah antena microstrip untuk berkomunikasi langsung dengan satelit. Jika selama ini antena satelit berbentuk antena parabola berukuran besar, Josh merevolusinya dengan membuat antena berbentuk cakram berdiameter 12 sentimeter dan tebal 1,6 milimeter.

Dipatenkan

Antena berkemampuan dual band sehingga bisa berfungsi sebagai pemancar dan penerima ini telah dipatenkan secara internasional. "Antena hanya perangkat dasar. Pemakaiannya bermacam-macam, dari antena komunikasi biasa seperti pada telepon genggam hingga sistem radar militer," papar Kepala Microwave Remote Sensing Laboratory di Universitas Chiba, Jepang, ini.

Antena bisa dipasang pada setiap laptop sehingga bisa langsung berkomunikasi dengan satelit atau diselipkan di balik atap mobil sehingga ke mana pun mobil itu pergi akan bisa berkomunikasi. Tiada lagi blank spot.

"Sebuah produsen mobil di Jepang sudah membayar hak paten untuk memproduksi antena itu sebagai perangkat komunikasi standar di setiap mobil buatannya," ujar Josh yang enggan menyebut nama produsen mobil itu.

Berangkat dari penemuan antena mikro ini, Josh mengembangkan sistem radar masa depan, circularly polarized synthetic aperture radar(CP-SAR). Seluruh sistem radar yang saat ini dipakai, termasuk yang tercanggih, masih menggunakan mode polarisasi linear yang kurang akurat.

"Dengan polarisasi circular, pembacaan radar akan lebih akurat karena tidak terganggu gerakan pesawat pembawa radar itu dan bentuknya juga lebih kecil," paparnya.

Di luar radar, bersama koleganya di Chiba, Josh sedang melakukan proyek ambisius memetakan penyebaran abu vulkanik gunung api seluruh dunia yang meletus sejak ribuan tahun lalu.

"Abu vulkanik dari gunung meletus, begitu mencapai stratosfer akan bergerak ke arah dua kutub bumi. Di kutub, abu tersebut menumpuk dan terawetkan. Dari situ, kita bisa memetakan periodisasi letusan gunung tertentu untuk mengantisipasi letusan berikutnya," kata ayah dari Johannes Pandhito Panji Herdento (7) ini.

Dari riset tersebut Josh mendapat bukti apa yang kita kenal sebagai Danau Toba di Sumatera saat ini dulunya adalah kawah gunung api raksasa. "Sewaktu-waktu bisa meletus kembali," tuturnya.

Tidak bisa membaca

Josh bukanlah anak ajaib yang jenius sejak lahir. "Sampai kelas III SD saya tak bisa membaca. Saya peringkat ke-23 dari 23 siswa. Saya dulu main terus, tidak pernah belajar," tutur pria kelahiran 25 Juni 1970.

"Saya terpukul melihat ibu menangis karena saya akan dikeluarkan. Sejak itu saya berjanji tak bermain lagi dan hanya belajar, belajar, dan belajar," kenang Josh. Sejak itu, Josh selalu meraih peringkat pertama.

Lulus dari SMA Negeri 1 Solo, Josh lolos seleksi program beasiswa Science and Technology Manpower Development Program yang digelar Kementerian Riset dan Teknologi. Ia kuliah S-1 dan S-2 di Fakultas Teknik Elektro dan Komputer Universitas Kanazawa, Jepang, sejak 1991.

Di Kanazawa itulah ia bertemu dengan Innes Indreswari Soekanto, seniman pematung yang kelak menjadi istrinya.

Ke-"gila"-an belajar Josh membuat dia menguasai berbagai cabang ilmu lain, mulai dari geologi, geografi, geodesi, sampai fisika material.

Tahun 1999, dengan biaya sendiri, putra kedua instruktur Pasukan Khas TNI AU ini menyelesaikan studi S-3 di Universitas Chiba. Hanya dalam waktu tiga tahun, gelar PhD ia raih. Kemampuannya dianggap istimewa dan tidak dimiliki orang Jepang sehingga ia ditawari posisi staf pengajar tetap di Universitas Chiba.

"Sesuatu yang sangat jarang terjadi karena saya masih warga negara Indonesia sampai hari ini," tuturnya.

Tahun 2004, saat usianya baru 34 tahun, universitas mengangkatnya menjadi associate professor atau setingkat di bawah profesor penuh. Sebuah loncatan langka, mengingat di Chiba seorang dosen baru diangkat menjadi associate professor pada usia rata-rata 45 tahun.

Dengan segala kesempatan, penghargaan, dan fasilitas yang diberikan Pemerintah Jepang kepada Josh (dia pernah bilang, gaji pokoknya setara dengan gaji presiden di negara berkembang), Josh tidak pernah lupa pada Tanah Airnya.

Selain untuk menengok istri dan anaknya yang tinggal di Bandung, Josh rutin pulang ke Indonesia 2-3 kali setahun untuk memberi kuliah di berbagai universitas dan mempresentasikan teknologi baru temuannya kepada Mabes TNI. Semua dilakukan dengan biaya sendiri.

No comments: