Monday, January 08, 2007

Indonesia sangat kejam terhadap orang cacat



Hari itu PT Kereta Api Indonesia (KAI) bersama Komunitas Peduli Tuna Daksa Indonesia (Kopentuda) menyelenggarakan uji coba penggunaan kereta api bekas yang baru diimpor dari Jepang (lihat http://www.thejakartapost.com/Archives/ArchivesDet2.asp?FileID=20061228.C06) untuk para penyandang cacat.

Uji coba yang diikuti puluhan penyandang cacat itu dimulai dari stasiun Gambir ke stasiun Bogor pergi pulang. Pihak penyelenggara menyebutnya “wisata teknologi”. (lihat http://www.thejakartapost.com/Archives/ArchivesDet2.asp?FileID=20061229.C02 atau http://matheosmessakh.blogspot.com )

Ada satu peristiwa kecil yang mengganggu perasaan saya saat rombongan wisata itu tiba di stasiun Bogor. Para penyandang cacat ternyata tidak bisa turun di stasiun itu dan harus dibantu karena ternyata platform stasiun lebih rendah sekitar 50 cm dari lantai gerbong dan berjarak sekitar 50 cm. Sejumlah penyandang cacat tetap turun juga, -tentu dengn bantuan banyak orang- hanya untuk memastikan bahwa stasiun itu memang tidak bersahabat bagi penyandang cacat. Suatu show yang menarik apalagi hadir para wartawan cetak, radio, online maupun TV.

Orang banyak di stasiun segera berkerumum menyasikkan ‘pertunjukkan’ ini. Sekilas saya melihat ada seorang pemuda kurus duduk memeluk lututnya di sekitar kerumuman masa. Ia berbaju kaos merah memegang kantong plastik. Mungkin seluruh barang-barangnya di dalam kantong itu. Ia nampaknya seorang gelandangan.

Karena seorang penyandang cacat di atas kursi roda segera diturunkan dan crew sebuah TV swasta akan mengambil gambar, ia disuruh minggir. Seorang petugas satpam bahkan membentaknya. Saat ia beranjak, barulah saya sadar kalau ia ternyata cacat. Ia pun minggir dengan susah payah. Kemungkinan ia sudah sejak tadi duduk di situ dank arena akan ada ‘pertunjukkan’ itu diusir.

Perhatian saya akhirnya tidak pada uji coba itu lagi. Padahal itulah tujuan liputan saya hari itu. Terlintas di pikiran saya betapa kejamnya negara ini dan masyarakatnya. Menjadi cacat di Indonesia sudah merupakan suatu penderitaan tersendiri. Apalagi menjadi cacat dan miskin di Indonesia. Kekejaman dan penderitaan berlapis-lapis.
Ada orang cacat yang masih mendapat perhatian yang luar biasa dari keluarga, masih punya tongkat, masih duduk di atas roda. Tapi bagaimana dengan mereka yang catat dan miskin? Mereka tersingkir dua kali dari masyarakat kita.

Pemuda berbaju merah itu, dia bukan saja cacat tapi juga miskin dan gembel, karena itulah dia bukan bagian dari “wisata teknologi” itu. Ia tidak layak masuk layar TV atau halaman Koran, sehingga ia harus disuruh minggir. Betapa malangnya. Ia cuma bisa jadi penonton, padahal ia juga punya derita yang sama dengan orang cacat lain yang sejenak menjadi perhatian massa.

Mungkin ia tak butuh publikasi ataupun popularitas sejenak. Ia juga mungkin tak butuh kursi roda atau tongkat. Ia di sana, di stasiun kereta api itu, mungkin karena ia tak punya rumah. Ia di sana karena ia butuh makan. Bisa makan saja itu sudah cukup baginya.

Itulah sebabnya ia mendekat ketika melihat kereta berhenti dan orang berkerumun.
Sebelum berangkat bersama rombongan, saya mewanwancarai Sartono Mukadis, sang dokter yang sekarang duduk di kursi roda karena kakinya dioperasi itu.

Ia bilang menjadi orang cacat di Negara ini seperti tiba-tiba dilempar ke dalam sebuah kelompok yang harus menerima segala keadaan apa adanya.

“Bukan hanya kepada tuna daksa, kepada banyak marginal juga kita masih belum adil. Misalnya kepada minoritas agama dan etnis. Saya egois kalau mengatakan ketidakadilan itu hanya pada tuna daksa seperti saya. Ketidakdilan itu masih berlaku kepada banyak pihak. Benar bahwa masih banyak perlakukan di bawah standar, tapi perlakukan di bawah standar itu tidak hanya kepada tuna daksa,” kata Sartono.

Menurut Sartono, selain alasan klasik bahwa kita adalah negara yang sedang membangun, ada alasan lain yang sebenarnya berbahaya.

“Ada alasan yang lebih prinsipil, lebih struktural, dan menurut saya lebih berbahaya yaitu kita memang miskin dalam empati. Kita cuma katanya bangsa yang gotong-royong, kita begitu mayoritas bahkan cenderung korup. Maaf saya muslim, tapi korup itu datang dari yang muslim. Jawa, saya jawa, tapi Jawa mayoritas cenderung korup. Setiap kekuasaan, setiap kelebihan dimaanfaatkan untuk korupsi,” tambah Sartono.
“Kalau dibilang negara beragama, Cina itu apakah kurang atheisnya. Mereka sangat athies, tetapi mereka mampu mempunyai perhatian yang luar biasa pada tuna daksa. Kita yang katanya Pancasilais ini, sebenarnya kejam. Itu karena kita miskin dalam empathi. Coba lihat Cina yang kita sebut cina loleng, yang ngak pernah belajar P4 yang ngak pernah bilang alhamdulilah tiap detik, dia takut betul kalau ada lambang orang cacat,”kata Sartono.
“Kalau yang besar, diperhatikan, yang bombastis, kita bukan main. Setiap bulan puasa kasih ke yatim piatu. Waduh bukan main. Apalagi muncul di televisi. Agama saya mengatakan, kita harus melindungi anak yatim piatu. Tidak ada kata-kata dalam Quran yang menyatakan anak yatim piatu muslim. Kenapa acara berbuka bersama selalu kita pilih anak yatim piatu muslim? Kan non-sense. Nanti kalau sudah terjadi seperti di Ambon, di Poso baru itu pendeta-pendeta dan haji dikumpulin. Kita bangsa yang suka show-off,” tambah Sartono.

Adanya undang-undang tentang orang cacat, menurut Sartono, tidak menjamin adanya perhatian yang wajar kepada orang cacat.
“Kalau perkara undang-undang, banyak sekali hal yang sudah ada undang-undangnya, tertulis, tertulis, tapi kita kan membaut undang-undang untuk dilanggar. Depsos sendiri menggunakan berbagai cara untuk menjadikan kita (orang cacat) sebagai proyek. Contohnya dalam pemberian penghargaan segala macam. Itu diperjual belikan. Walaupun kita harus katakan oknum-oknum Depsos, tapi Depsos sendiri tidak mempunyai program dalam pengertian mendasar yang betul-betul berusaha mengubah paradigma banyak orang tentang kecacatan. Yang mereka lakukan adalah proyek yang charity, seolah-olah memberikan sesuatu. Atau menolong kalau sudah ada masalah seperti pemadam kebakaran. Pemadam kebarannya pun mesti ditonton oleh orang banyak.”

Orang cacat di Indonesia tidak menuntut lebih selain pemenuhan hak-hak mereka, katanya.
“Setiap hari kita cuma bisa mengetuk, bahwa kita ini ada. Kita cuma menuntut hak kita. Charity ya boleh lah, terima kasih deh. Tapi asal kita jangan dijadikan obyek. Diberikan kesempatan yang sama sudah cukup. Saya melihat orang cacat itu, ketika kamu cacat tiba-tiba kamu masuk ke suatu domain tersendiri. Tidak boleh nakal, tidak boleh macam-macam. Lu musti dongo. Musti jujur. Padahal kita cuma manusia. Kita punya keinginan, kadang piunya niat jahat.”

Bahkan di antara sesama Negara berkembang, Indonesia terhitung sangat rendah perlakuannya terhadap orang cacat.

“Jangankan disbanding dengan negara maju. Terlalu jauh membandingkan Indonesia dengan Negara maju. Bandingan dengan Singapore saja kita kalah jauh. Di Indonesia, orang lebih takut pada fengshui daripada undang-undang tentang orang cacat. Dia bikin tangga tiga, tangga empat, dia ngak mau bikin lantai, karena lantai feng shuinya jelek. Di Singapore kan ngak begitu. Di Indonesia, di semua terminal, di bandara, dipenuhi sama mobil-mobil pejabat, meskipun ada tanda penyandang cacat.

Sartono mengaku pernah meminta ajudan Wakil Presiden Yusuf Kalla, untuk memindahkan mobil wapres yang diparkir di tempat parkir yang diperuntukkan untuk orang cacat.

“Setelah saling ngotot, akhirnya dia minggirin juga, mungkin dia pikir ini orang tua gila. Saya kan sudah nothing to lose kan? Tapi setelah itu saya takut sendiri. Coba bayangin kalau orang biasa,” kata Sartono.

No comments: