Wednesday, July 20, 2005

Dili is not so far away...

Niat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberantas Korupsi ternyata belum menyentuh petugas-petugas Imigrasi korup di perbatasan Indonesia-Timor Leste. 

Mota Ain mungkin terlalu udik dalam ukuran Jakarta, namun bagaimanapun kampung bersejarah itu adalah salah satu halaman depan negara yang seharusnya disapu bersih dari kotoran korupsi. 

Berikut catatan penulis dari perjalanan tanggal 7 juli 2005 ke perbatasan Indonesia-Timor Leste.

“Di mana form yang hijau seperti ini?” tanya petugas Imigrasi Indonesia di perbatasan Mota Ain kepada saya.

“Saya tidak punya pak” jawab saya ragu-ragu kepada laki-laki muda yang di dadanya tertera papan nama Farid Apriandi. Dari nama dan logatnya jelas ia bukan orang lokal. Bukan juga orang Belu yang sering saya temui beberapa kali melewati tapal batas Mota Ain.


“Lho, bagaimana bisa tidak punya, pak yang ini saja punya?” katanya sambil menunjuk Arif Djati yang berdiri di depan saya.

“Mungkin saya tinggalkan di Dili pak, tapi seingat saya, saya tidak pernah menerima form sejenis itu”, jawab saya ragu-ragu sambil menambahkan “Memangnya ini biasanya didapatkan di m ana pak?”

Petugas itu dengan kalem dan sombongnya menyodorkan sebuah form, membalikannya dan menunjuk bagian belakang form itu sambil berkata:
“baca ini biar ngerti!”

Kalimat ini begitu menghina saya. Logika pelayanan publik macam apa yang memperbolehkan orang dibentak? Walau tak mengerti maksud petugas itu, saya membaca juga form itu.

Mata saya menelusuri kalimat-kalimat dalam form itu. Otak saya seakan sulit mencerna empat point yang tertera di bawah judul “PERHATIAN” karena pikiran saya lebih menerawang jauh ke balik pre-text dibalik tindakan administratif ini. Yang membuat saya mulai kuatir adalah kalimat yang berbunyi “Harap jangan dihilangkan bagian dari kartu ini dari paspor/surat perjalanan anda”.

Saya mulai bingung dan berdiri seperti tersangka di depan tiga orang petugas yang berpakian rapi itu. Sang petugas membiarkan saya berdiri di depannya sambil membuka-buka paspor saya. Teman-temannya yang lain diam seperti menunggu dan disamping mereka duduk dua orang yang tidak berseragam imigrasi. Salah seorang malahan duduk di atas jendela.

“Pernah tinggal di luar negeri ya?” tanya lagi.

“Iya pak”

“Berapa lama?”

“Dua tahunan pak”

“Anda kerja di mana di Dili?”

“CAVR pak”

Ia tak terus menanyakan apa itu CAVR, entah karena tahu, entah karena pertanyaan itu Cuma basa-basi semata. Saya terus berdiri menanti. Rasanya saya telah salah menjawab, seharusnya saja tidak perlu jujur mengaku bahwa saya bekerja di Dili. Pertanyaan seperti itu tentu bukan tanpa maksud. Tak lama kemudian dia berkata:
“Sepuluh dollar”

“Maksud bapak?”

“Bayar sepuluh dollar sebagai denda?” katanya dingin.

Saya menarik napas panjang. Pre-text dibalik tindakan sok tertib itu jelas sekarang. Ternyata ada udang di balik batu. Begitulah birokrasi: hal besar dikecil-kecilkan, hal kecil dibesar-besarkan. Kalaupun saya memang bersalah, logika mana yang membenarkan pembayaran sebesar itu? Berapa banyak orang yang sudah ia palak? Saya memperhatikan jam tangan keemasan yang melingkar di lengannya. Semoga itu bukan hasil sogok, guman saya dalam hati.

Niat SBY memberantas korupsi justru dipatahkan oleh kecoak-kecoak birokrasi macam ini. Jumlah mereka tentu jutaan bertaburan di seluruh bumi pertiwi. Bahkan mungkin banyak yang diekspor ke luar negeri, termasuk satu yang terdampar di perbatasan Indonesia dan Timor Leste ini. Ego saya terusik. Niat semula untuk memberi oleh-oleh $10 kepada dua orang keponakan kecil di Atambua bakalan berakhir di kantong petugas korup nan busuk ini. Mesti ada keberanian dan taktik!

Setelah mengatur napas sebentar, dengan tenang saya berkata kepadanya:
“Kalau begitu bapak tolong siapkan kwitansi”.

Mungkin merasa posisi tawarnya lebih kuat, dia pung menjawab tak kalah tenangnya: “tidak ada kwitansi..”.
Suasana saat itu saya rasakan bagai dua orang pemain catur sama-sama merasa posisinya kuat. Dia mungkin merasa kuat karena mengira saya tak punya pilihan. Senyumnya bagaikan pemain catur yang merasa telah mendesak bidak raja.

Tapi rupanya dia salah sasaran. Saya bukan orang yang rela dipermainkan cecunguk macam ini. Saya sadar benar peringatan katuas Max Weber[1] bahwa melawan birokrasi itu bak menabrak tembok, tapi saya juga ingat trik-trik anarco-sindikalis[2] melawan institusi yang namanya negara atau birokrasi itu.

“Kan tinggal ditulis tangan, ditanda tangani dan diberi cap imigrasi kan?” kata saya kepadanya.[3]
Dia nampaknya kewalahan, tak tahu harus menjawab apa, namun tetap memasang tampang arogan.
Teman-temannya mulai bereaksi. Mungkin karena merasa teman mereka terpojok, mereka mulai turun tangan. Salah seorang yang sedang berurusan dengan orang Philipina di sebelahnya ikut bertanya kepada saya:

“Tadi kamu bilang formnya dimana?”

“Mungkin ketinggalan di Dili pak”

“Kalau begitu kamu ambil sana ke Dili”, katanya sambil menunjuk ke luar.

Saya cuma bisa memandang mereka. Ini sungguh satu serangan telak buat saya. Saya tidak ingin menuruti keinginan mereka akan sogok, tetapi juga tidak ingin kalah dengan menunjukkan kemarahan saya. Saya diam saja. Sometimes the silence can be like thunder! kata Bob Dylan.[4]

Tapi rupanya katuas Weber ada benarnya juga. Siang di dalam ruang imigrasi di sebelah barat sungai Mota Ain itu terasa begitu panas. Saya dalam dilema besar sekarang. Haruskah saya menuruti kemauan petugas itu membayar $10 atau kembali ke Dili yang berjarak kurang lebih 100 km dari Mota Ain? Tidak! Walau uang di dompet saya cukup untuk membayar sepuluh koruptor macam itu, saya tidak akan membayar. Tapi kalau saya kembali ke Timor Leste apakah pihak imigrasi Timor Leste akan menerima saya? Apalagi dengan waktu visa yang tersisa empat hari. Jika saya ditolak kembali ke Timor Leste, kemana lagi saya harus pergi? Tidak mungkin saya tinggal di no man land. Jika saya bertahan di daerah tak bertuan, mungkin kasus saya akan heboh dan terbuka kemungkinan menjadi celebriti sesaat, tetapi mampukah saya bertahan di situ? Sangat mungkin saya hanya akan jadi tertawaan mereka, baik pihak Indonesia maupun Timor Leste. Mungkin mereka akan mengejek “Ke laut aje?[5]” Suatu hal yang tak mungkin saya lakukan mengingat jarak pantai Mota Ain dan pantai Kupang bukan jarak untuk sebuah jalan santai di tepi pantai.

Dengan lesu saya mengambil kembali paspor saya, membereskan tas saya dan melangkah keluar ruangan imigrasi itu. Pupus sudah harapan bertemu keponakan-keponakan kecil di Atambua, terbuang percuma waktu sehari, apalagi pekerjaan kantor menumpuk di Comarca Balide[6], Dili.

Saya menjelaskan duduk perkara kepada Arif yang menunggu di luar ruangan. Ia mengajurkan saya mengalah saja, namun saya menolak. Toleransi nol terhadap korupsi sekecil apapun yang coba saya pegang tidak akan saya korbankan. Arif terpaksa harus saya biarkan pergi sendiri ke Atambua, padahal kepergian saya sebenarnya untuk mengantar Arif.

Sambil memanggul ransel saya, saya kembali ke arah timur. Baliho besar bertuliskan “Selamat Datang di Indonesia/Welcome to Indonesia” yang berdiri kokoh di luar gedung imigrasi seakan mengejek. Gombal segombal pelayanan publik di Republik yang bernama Indonesia.

Hampir saja saya memutar langkah mendengar ajakan seorang pelintas batas yang lain untuk berkompromi dengan petugas imigrasi. Perempuan asal Makasar yang sekarang menetap di Aileu itu mengaku pernah membayar $5 untuk masalah serupa. Namun pengakuan itu justru membuktikan pungutan itu sebenarnya tak konsisten, tak beralasan, dan liar. Pengakuan itu justru memperkuat keputusan saya untuk tidak berkompromi.

Langkah saya lanjutkan. Masih dua pintu yang harus saya lalui sebelum masuk kembali ke Timor Leste: Bagian Karantina dan Pos TNI. Semoga tidak ada lagi tukang palak. Membiarkan saya kembali ke Dili saja sudah lumayan. Kemampuan acting saya keluarkan sepenuhnya. Efraim Janggu, petugas Karantina yang saya temui berkata: “Kami juga tidak bisa membantu pak, masing-masing instansi punya wewenang sendiri”. Satu lagi prinsip birokrasi menurut katuas Weber terbukti: sesama birokrat dilarang saling mendahului! Prinsip yang sebenarnya sudah dipraktekkan sejak jaman Romawi.[7]

Syukurlah pos tentara Indonesia juga bisa dilalui tanpa masalah. Setelah melapor ke pos tentara yang juga mengaku tak bisa berbuat apa-apa, saya melangkah ragu melewati tapal batas menuju daerah tak bertuan di bawah terik matahari Mota Ain. Tak sedikit pun saya menyesal akan keputusan yang saya ambil. Malah saya bangga bisa memegang teguh nilai yang saya punya. Siang ini bertambah lagi satu nama dalam deretan panjang daftar nama orang Indonesia yang ditolak kembali ke tanah airnya sendiri, hanya karena mencoba memegang prinsip yang mereka yakini. Persoalan saya mungkin tak seberapa berat: saya hanya tidak ingin berkompromi dengan korupsi sekecil apapun. Bagaimana lagi dengan mereka yang terusir karena ideologi politik yang mereka anut? Pantas saja, rezim silih berganti namun para exile tetap tak merasa nyaman pulang ke rumah sendiri.

Reaksi saya ini terkesan sombong mungkin, atau mungkin lebih tepat disebut keras kepala. Sambil berjalan saya teringat pak Hersri Setiawan[8], orang tua, mantan tahanan pulau Buru yang menceritakan kepada saya bagaimana ia berusaha memegang prinsipnya dalam tahanan dan siksa di pulau Buru.

Dalam sebuah makan malam pak Hersri menceritakan bagaimana ia tidak meminta ampun sedikitpun saat direndam dalam got di tengah malam buta oleh tentara penjaga tawanan. Kedua temannya yang lain berteriak-teriak minta ampun sepanjang siksaan itu. Di akhir siksaan, kedua temannya bisa langsung bangun dan bahkan berlari-lari. Rupanya teriak-teriak kedua teman itu membantu memperlancar sirkulasi darah sehingga menjaga kehangatan tubuh mereka. Tak demikian halnya dengan pak Hersri. Badannya kaku dan harus digotong keluar got. “Kalau teman-teman kemudian tidak menghangatkan tubuh saya mungkin saya mati saat itu. Seharusnya saya ikut berteriak, tetapi kesombongan saya membuat saya bungkam. Untuk apa minta ampun kepada orang bodoh?” kata pak Hersri. Kesombongan yang jujur diakui tapi justru membuat saya kagum.

Belum selesai lamunan saya, saya sudah berhadapan dengan para petugas imigrasi dan polisi-polisi dari Border Patrol Unit (BPU) Timor Leste yang sedang berdiri di pos mereka. Saya menceritakan masalah saya meminta kebijakan mereka. Semua apa yang terjadi di ruang imigrasi Indonesia saya ceritakan. Di luar dugaan, mereka jauh lebih membantu dan mengerti kondisi saya. Tanpa basi-basi kepala imigrasi meminta paspor saya. Dia mengatakan bisa saja pihaknya memberi perpanjangan visa tapi itu akan menimbulkan masalah di kemudian hari karena saya belum menyebrang ke Indonesia. Kemungkinan terbaik adalah membatalkan cap kepergian saya ke Timor Barat dan saya bisa mengurus perpanjangan visa saya di Dili.

Beberapa menit kemudian buku kecil berwarna hijau itu sudah dikotori cap CANCELED. Dan dengan sendirinya saya masih berhak tinggal empat hari di Timor Leste. Ancaman terdampar di no man land berlalu sudah. Rasa terima kasih yang tidak terkira saya sampaikan kepada para polisi dan petugas imigrasi itu.
Malahan gara-gara masalah ini saya jadi punya bahan bicara dengan polisi-polisi Timor Leste dan saling berkenalan. Pembicaraan pun mengalir dalam suasana informal, bahkan gelak tawa sekali-sekali memecah. Tentu saja tentang hal ikhwal mental petugas-petugas Indonesia. Kepentingan yang sama memang mudah menyatukan orang. Foto-foto bersama pung berlangsung. Sejumlah pelintas yang sedang menunggu pembukaan perbatasan nampak menyaksikan keasyikan kami.

Beberapa menit kemudian, petugas imigrasi Indonesia yang menyuruh saya pulang ke Dili, datang ke pos imigrasi Timor Leste. Saya menghampirinya. Perang melawan korupsi mungkin tak boleh setengah-setengah seperti perang melawan terorisme. Saya tambah berani, apalagi sudah tidak ada masalah dengan pihak imigrasi Timor Leste. Saat ia keluar dari ruangan imigrasi Timor Leste, saya menghampirinya. “Terima kasih pak sudah mengusir saya kembali ke Timor Leste”.

Ia nampak salah tingkah. Hampir tak berani memandang wajah saya. “Ya aturan memang sudah begitu, jadi begitulah” kilahnya. Dalam hitungan detik ia sudah kembali menaiki motornya bersama seorang petugas lain dari Timor Leste. Begitu motor yang ia tumpangi pergi, semua petugas imigrasi dan polisi Timor Leste yang mendengar percakapan kami, pecah dalam tawa.

Rasanya saya belum cukup memberi “pelajaran” kepadanya. Seharusnya saya menanggapi pernyataannya soal pemberlakuan aturan yang sama kepada semua orang. Benar bahwa aturan harus ditegakkan, tanpa pandang bulu, tapi ada prinsip lain juga yang tak boleh diabaikan: transparasi dan pembuktian. Ironisnya, ketika saya meminta kwitansi mereka mengusir saya kembali ke Timor Leste. Tapi khotbah moral macam itu mungkin tak akan mempan bagi koruptor yang tebal muka dan sudah kecanduan menghisap orang. Entah berapa Dollar atau Rupiah yang mereka bawa pulang untuk anak istri mereka setiap hari. Kasihan sekali orang-orang yang makan dari hasil curian seperti ini. Tapi lebih kasihan lagi orang-orang yang dipalak setiap hari oleh para petugas korup itu.

Sambil menunggu kendaraan yang mungkin melintas ke Dili, saya mampir sebentar ke kios kecil di sebrang sebuah jembatan kecil. Sebuah ide muncul di kepala saya: daripada $ 10 itu saya berikan kepada koruptor kotor kecil itu, sebaiknya saya berikan kepada orang-orang yang tidak memintanya namun mungkin membutuhkan. Saya membeli sepuluh bungkus rokok dan beberapa air mineral untuk para polisi dan petugas imigrasi itu.

“Ini bukan sogok, katakanlah ini ucapan terima kasih dari saya” kata saya kepada Emmanuel Misa, polisi yang menemani saya ke kios itu. Saat keluar dari kios itu, sebuah truk besar datang dari arah Indonesia. Emmanuel yang ayahnya berasal dari kota SoE, Indonesia itu menawarkan jasa meminta tumpangan supir truk itu. Sambil menitipkan rokok-rokok itu ke polisi itu saya terburu-buru menumpang truk barang itu beranjak ke Dili.

“Sampaikan salam saya kepada bapak-bapak itu, saya harus pergi sekarang” Saya melompat ke atas truk Nissan Diesel besar ber plat nomor DH 9933 CA milik CV Gunung Mas itu yang segera melaju meninggalkan Mota Ain. Pak Stanis sang sopir asal Kefamenanu bersedia memberi tumpangan.

Sepuluh tahun pengalaman pak Stanis mengemudikan mobil besar di medan terjal Timor membuat saya merasa aman duduk di depan truk yang sedang bermuatan 5 ton itu. Apalagi di bagian dalam pintu mobilnya terpampang stiker dengan tulisan: Tuhan, Lindungilah perjalananku ini. Di kaca depan menggantung mengayun sebuah rosario. Dia pasti seorang baik yang membanting tulang sedekar untuk bisa makan atau menghidupi keluarganya. Kasihan, kalau orang seperti ini juga dipalak oleh petugas imigrasi busuk itu.

Sepanjang jalan ke Dili, saya hanyut dalam lamunan. Pupus sudah harapan berbangga-bangga menjadi seorang kakak, gara-gara sepotong kertas. Mota Ain-Dili yang berjarak kurang lebih 100 km harus ditempuh lagi. Terbayang wajah petugas korup itu.

Walaupun tidak saya sesali, terasa sebagai sebuah keputusan yang bodoh juga untuk tidak menuruti keinginan petugas itu. Namun, di hati saya ada pembenaran: lebih baik uang itu saya berikan secara sukarela kepada orang lain daripada diberikan secara terpaksa kepada seorang koruptor kroco, yang mungkin akan jadi koruptor besar suatu saat. Sebuah pemberian sukarela terasa jauh lebih ringan daripada “upeti” yang dipaksakan walaupun nilainya nominalnya mungkin sama. Mungkin itulah sebab orang macam Liurai Dom Boventura[9] menolak tunduk kepada Portugis. Pajak jalan yang ada sejak jaman Romawi, tidak saja berlanjut di jalan Tol di ibukota Indonesia, tapi juga di udik Indonesia.

Sepanjang jalan, sekali-kali kami berpapasan orang-orang bersahaja. Saya sempat berpikir, jika saya yang sedikit tinggi bersekolah saja masih diperas oleh petugas begundal macam begitu, bagaimana lagi yang terjadi dengan orang-orang ini jika mereka berurusan dengan imigrasi. Saya melawan karena masih punya pilihan, bagaimana dengan mereka yang tak punya pilihan?

Birunya laut, putihnya ombak yang memecah pantai, putihnya pasir sepanjang perjalanan melintasi pantai-pantai tasi feto[10] tak juga membuat saya lupa akan tingkah menjijikan dari orang sebangsa dan setanah air saya itu. Tak heran Taufik Ismail pernah menulis puisi berjudul “Aku malu menjadi bangsa Indonesia”.[11]
Truk Nissan Diesel yang melayani kemewahan perjalanan saya ini masuk Dili menjelang sore. Pukul 4.25 waktu Dili saya mohon turun beberapa meter sebelum jembatan Comoro. Sebungkus Gudang Garam filter dan terimakasih kepada pak Stanis. Taxi menyambung perjalanan ke rumah makan Manado kegemaran saya, mengisi perut yang sejak siang tadi sudah melantunkan mars perjuangan.

Dili memang tidak terlalu jauh, untuk sebuah kemarahan yang beralasan. Semoga SBY tahu bahwa salah seorang rakyatnya rela bersusah-susah naik truk 100 km kembali ke Dili, hanya karena tidak rela dipalak oleh seorang petugas imigrasi korup.

Dili bukanlah Jerusalem dan Mota Ain bukanlah Emaus, namun semangat yang ada di dadaku mungkin mirip semangat yang ada di dada dua orang murid Yesus yang berjalan ke Emaus.[12] Ada kabar yang harus diberitakan. Kabar kebobrokan para petugas Indonesia. Dili is not too far away to tell a story of a corrupt officer.[13]

Bidau Massau, Dili, 7 July 2005

[1] Max Weber sering dipandang sebagai perintis studi tentang birokrasi, dengan sejumlah karya-karya klasiknya antara lain: The Protestantism and Spirit of Capitalism.
[2] Anarco-Sindicalism adalah prinsip yang percaya bahwa tanpa negara, orang-orang kebanyakan bisa menjalankan mekanisme-mekanisme untuk mengatur dirinya sendiri. Sayangnya, Anarkisme telah mendapat nama yang jelek oleh kebanyakan penguasa dan bahkan ahli ilmu sosial. Apalagi di Indonesia di mana anarkisme tidak hanya dilabel secara buruk tetapi juga diberi label secara salah: aksi-aksi kekerasan oleh publik dicap sebagai anarkis, sementara inisiatif-inisiatif positif dari masyarakat tidak dihitung sama sekali sebagai anarki. Kenyataannya, inisiatif-inisiatif mandiri tanpa bergantung kepada negara (state) sama sekali adalah pengertian sebenarnya dari anarkisme.
[3] Tindakan saya ini sama prinsipnya dengan salah satu trik jika anda ditahan secara sewenang-wenang (arbitrary detention) oleh polisi atau tentara, yaitu menanyakan nama, pangkat dan kesatuan si penangkap.
[4] Bob Dylan, penyanyi lagu-lagu folk keturunan Yahudi-Amerika yang banyak menyanyikan kritik-kritik sosial. Lahir dengan nama Bob Zimmerman, kemudian memakai nama Bob Dylan, karena begitu mengagumi penyair Dylan Thomas walau ia tak pernah mengakuinya. Sekarang menetap di Australia. Di Indonesia orang pernah menyamakan Iwan Fals dengannya, karena kemiripan thema lagu-lagu mereka dan gaya mereka yang lebih suka memakai gitar akustik daripada gitar listrik.
[5] Teringat sepenggal syair lagu rap yang berbunyi “cewek matre, cewek matre, ke laut aje...”
[6] Comarca Balide adalah penjara yang dibangun oleh pemerintah Portugis tahun 1963 di Dili, Timor Leste yang juga di gunakan selama jaman Indonesia sebagai pejara politik dan tempat penyiksaan. Sekarang digunakan Komisi Penerimaan, Rekonsiliasi dan Kebenaran (ComissaƵ Acolhimento, Verdade e ReconciliacaƵ, CAVR) sebagai kantor.
[7] Prinsip ‘dilarang saling mendahului’ ini terlihat misalnya dalam pengadilan Yesus. Raja Herodes dan Pontif Pilatus sebagai potret dualisme birokrasi di daerah Galilea dan Yudea saling tarik ulur dalam mengadili Yesus. Herodes adalah keturunan Raja-raja Yahudi yang memerintah dan berkuasa dalam relasi rindu-dendam dengan Pontif Pilatus, representatif tentara pendudukan Romawi di daerah kekuasaannya. Dari peristiwa penyaliban Yesus ini jugalah terkenal tindakan simbolik Pilatus mencuci tangan sebagai tanda tidak turut bersalah atas tertumpahnya darah Yesus. Dengan tindakan demikian, Pilatus ingin menunjukkan bahwa bukan dirinya yang membunuh Yesus melainkan orang-orang Yahudi sendiri. Dalam kenyataannya ia tahu Yesus benar dan lebih lagi, ia punya otoritas untuk membebaskan Yesus, namun ia menolak melakukan keputusan yang tak populer itu karena orang banyak menginginkan kematian Yesus. () Tindakan mencuci tangan ini sebenarnya suatu tindakan yang bersumber dari tradisi Perjanjian Lama dimana... Dari sinilah asal ungkapan ‘mencuci tangan’ untuk tindakan menolak bertanggungjawab.
[8] Hersri Setyawan, mantan Tahanan pulau Buru yang menulis beberapa buku antara lain : Saya Seorang Napol, Catatan Pulau Buru I & II.
[9] Liurai (raja) Dom Boaventura adalah liurai dari Manufani yang memimpin pemberontakan yang terbesar dalam sejarah Timor Leste, menentang ‘pajak kepala’ yang diterapkan oleh Portugis pada tahun 1908. Pemberontakan yang berawal pada tahun 1911 ini adalah kelanjutan dari pemberontakan yang dipimpin oleh ayahnya liurai Dom Duarte pada akhir abad-19 hingga gubernur Celestino da Silva menyerang kerajaan Same di tahun 1895 dan Dom Duarte dipaksa menyerah tahun 1900. Pemberontakan Dom Boaventura dipadamkan Portugis tahun 1912 dengan mengorganisir sekitar 12.000 tentara dari liurai-liurai lain dan mendatangkan pasukan Portugis dari Mozambique. Tidak kurang 25.000 orang mati dan Dom Boaventura ditangkap dan diasingkan di pulau Atauro hingga meninggal di sana.
[10] Tasi Feto secara literer berarti Laut Betina atau Laut Perempuan, adalah sebuatan orang Timor untuk laut di bagian utara pulau Timor. Sedangkan laut di bagian selatan di sebut Tasi Mane yang secara literer berarti Laut Jantan atau Laut Laki-laki. Kemungkinan besar inilah yang disebut dualisme dalam kosmology orang Timor dimana mikrokosmos maupun makrokosmos dipahami dalam dualisme, jantan dan betina.
[11] Puisi ini pernah dibacakan oleh Taufik Ismail dalam sebuah acara RCTI pada tahun 2000 ketika saya baru saja pulang dari Dili dalam rangka peliputan majalah Udik. Editorial untuk liputan ini kami beri judul yang sama dengan puisi Taufik Ismail. Pada tahun yang sama, liputan dari Dili itu masuk nominasi ISAI Award, sebuah award untuk media alternatif di Indonesia.
[12] Cerita tentang perjalanan dua orang murid Yesus dari Jerusalem ke Emmaus yang bertemu Yesus namun mereka tidak mengenalNya ( ). Cerita ini secara singkat mempunyai pesan bahwa pengungkapan kebenaran (terbukanya mata), menciptakan semangat yang luar biasa untuk memberitakan kabar kebenaran bahkan kadang mengabaikan jarak dan kemampuan fisik. Kedua murid itu murid itu sudah jauh-jauh berjalan dari Jerusalem ke Emmaus (km) namun ketika mereka kemudian mengetahui bahhwa orang yang mereka temui di tengah jalan adalah Yesus, mereka kembali lagi ke Jerusalem untuk memberitahukan kabar itu, walau hari sudah malam.
[13] Salah satu prinsip pemantauan HAM adalah prinsip yang disebut “organising the shame” (mengorganisir rasa malu) yang secara sederhana berarti mengungkapkan cerita pelanggaran HAM yang membuat para pelaku merasa malu dengan harapan tidak akan mengulanginya lagi. Tak heran salah satu musuh besar para pelaku pelanggaran HAM biasanya adalah wartawan. Persoalannya menjadi lebih rumit kalau pelaku tidak lagi mempunyai rasa malu.

2 comments:

Sustainable Engineering Watch said...

waktu baca ini kisah, beta pung darah mandidi, ke mau tawar bakalai sa....
Kurang ajar dan biadap. Kalau sonde ada Tuhan dan hanya suanggi sa, maka orang itu harus dibabat.
Beta betul-2 benci dengan birokrasi keparat rakus duit...

Oh.... republik.... penuh birokrat rakus... penghisap darah....

dW said...

This is why i hat my own country..
-------
Lama tak jumpa...; tapi seakan baru kemarin pelatihan jurnalistiknya.. sampai ketemu nanti!